oleh: VINSENSIUS NURDIN
Sman3borong.sch.id-Beberapa waktu belakangan ini, kita semua tentu tidak pernah luput dari berbagai kemelut kebangsaan. Berbagai kemelut kebangsaan yang bagi beberapa penikmat aktif literasi terpanggil untuk memberi tanggapan dalam beberapa seri yang kelihatannya beriringan dan bersebrangan satu dengan yang lainnya. Keanekaragaman cara dalam meneropong objek dan memberi ulasan terhadap objek juga tergantung dari lebenswelt[1] orang perorangan. Lebenswelt adalah dunia yang disadari secara pra-ilmiah, pra-filosofis, dan pra-reflektif, suatu dunia yang nontematis[2] Dari sudut penikmat pasif literasi dalam tanggapan tanpa kata sering berada dalam pergumulan sendiri sambil mengafirmasi pendapat seorang filsuf bahasa Ludwig Wittgenstein dalam kalimat terakhir bukunya Tractatus: “worȕber mann nicht sprechen kann, darȕber soll man schweigen”(apa yang tidak dapat dibicarakan, tentangnya orang mesti diam). Kemelut kebangsaan sering kali diperkenalkan tentang pemberitaan di lingkungan istana kepresidenan tentu dalam urusan kepemerintahan sampai kepada lingkungan akar rumpt dalam urusan Rukun tetangga dan Rukun warga. Berbagai tanggapan dan caranya masyarakat memahami dan melibatkan diri dalam nuansa politik digolongkan Robert Putnam dalam kategori elitis kontemporer.[3]Semua hal yang bertautan dengan informasi dan aktivitas lembaga-lembaga kepemerintahan paling sering diterjemahkan dengan kemelut kebangsaan. Pergulatan anak bangsa dalam kesehariannya dan berada dalam naungan suatu bangsa tertentu tidak merupakan otonomi murni. Dalam kata berbeda: semua hal yang dilakoni anak bangsa pasti berurusan dengan politik. Pertanyaan selanjutnya adalah apa itu politik? Mengapa semua urusan pada akhirnya harus berada di bawah nuansa politik?
Berpapasan dengan pertanyaan apa, paling kurang langsung bertindih tepat kepada paham esensial-teoritik. Dalam ilmu pengetahuan upaya untuk memberikan suatu jawaban atas pertanyaan ilmiah “äpa”, maka akan diperoleh suatu tingkatan pengetahuan yang esensial.[4] Dan urusan teoretis tentang pendefenisian sesuatu sudah lama menjadi dasar dari cara berada kita sebagai makhluk rasional. Rasionalitas yang melekat dengan adanya manusia dalam urusan pengetahuan pasti akan berkecamuk dengan aksioma pendefenisisan sesuatu demi menemukan akar pemahaman. Pengetahuan manusia semenjak diformulasikan dalam kerangka kelas/tingkat dan diorganisir dalam kerangka kelembagaan yang sistematis akan sangat bersahabat dengan paradigma ‘mendefenisikan sesuatu’. Semua ini beralaskan paham menyeluruh bahwa pengertian teoretis tentang sesuatu dan tercakup di dalamnya usaha pendefenisian bukanlah sesuatu yang baru. Demikian pula ketika kita mau mendefenisikan kata/paham politik. Sudah sejak peradaban aksara ditemukan, defenisi kata/paham politik berjejalan sesuai dengan cara pandang orang per orangan dalam berbagai keanekaan. Pada arasnya politik dalam kalangan umum selalu berurusan dengan urusan keperintahan dan geliat berbagai instrument demi kekuasaan. Politik sebagai salah satu bidang kegiatan hidup yang berhubungan dengan masalah pemerintah dan kenegaraan serta proses pembentukan keputusan pada semua tingkat,..[5]Sedangkan pada posisi lainnya melihat dalam kerangka yang lebih luas. Tafsiran makna politik akhirnya berorientasi kepada dua hal yang kelihatannya saling membelakangi.[6] Pada tafsiran pertama lebih kepada padanannya dengan adanya konflik, karena pergulatan pribadi-pribadi yang saling memperebutkan kekuasaan dan mempertahankan kekuasaannya. Politik pada cara pandang ini berintensi kepada terciptanya disintegrasi. Pada tafsiran kedua lebih kepada padanannya dengan adanya upaya untuk menciptakan keadilan dan menyelenggarakan ketertiban umum. Kekuasaan di sini dilihat sebagai wadah penjamin kesejahteraan umum. Berdasarkan pengertian-pengertian pokok tentang politik, maka secara operasional bidang politik menyangkut konsep-konsep pokok yang berkaitan dengan Negara (state), kekuasaan (power), pengambilan keputusan (decision making), kebijaksanaan (policy) ,pembagian (distribution), serta alokasi (allocation).[7]
Pada ulasan kali ini, bukanlah terutama memberi pendasaran baru dari kata/paham politik, tetapi ketertarikan pada kata/paham politik yang terus menjadi bagian hidup setiap hari manusia dengan berbagai dinamika sebagai hasil penerjemahan ataupun cara manusia sekarang ini dalam menghidupi kehidupan. Dalam kerangka inilah, saya berpengalaman dan terus berpapasan dengan satu ujaran permainan masa kecil yang ketika diselidiki adalah satu kata atau ujaran yang unik. Kata atau ujaran yang unik ini bagi saya ketika direfleksikan menjadi suatu nilai arkaik yang mampu menata hidup manusia bahkan di zaman post-modern ini.
Surlele ketika diselisik dalam Bahasa daerah Manggarai juga agak sulit dan bahkan tidak bisa diterjemahkan. TKP dari kata ini ada dalam permainan masa kecil, permainan tradisional masa kekanak-kanakan dan sudah hampir punah pada zaman ini. Ada satu permainan yang bagi saya patut diangkat yang dinamakan main cina. Permainan ini dapat dilakukan oleh lebih dari dua orang/lebih. Dalam kotak-kotak persegi empat dalam susunan 10 kotak yang saling terhubung para pemain memainkan permainan ini dengan lincahnya. Ada beberapa peraturan yang semua anak sudah mengetahuinya dan wajib ditaati. Setiap anak yang pernah memainkan permainan ini juga sudah menghafal berbagai rumusan dan trik sehingga sedapat mungkin terbebas dari kesalahan. Satu kesalahan akan menyebabkan terdiskualifikasi alias secara tidak langsung memberi giliran kepada pemain lainnya. Demikian seterusnya hingga seorang pemenang ditentukan dengan seberapa banyak dia memperoleh hak mutlak atas setiap kotak dan dalam permainan ini dinamakan rumah. Permainan terdiri atas sekumpulan peraturan yang membangun situasi bersaing dari dua sampai beberapa orang atau kelompok dengan memilih strategi yang dibangun untuk memaksimalkan kemenangan sendiri ataupun untuk meminimalkan kemenangan lawan. [8]
Skenario main cina yang digemari anak-anak pada dasarnya berhubungan dengan kesepakatan antara para pemain terutama dalam menerapkan peraturannya. Seluruh lakon yang dimainkan merupakan manusia nyata (anak-anak) pada masa bermainnya dan jika dicoba diterjemahkan dalam kehidupan nyata dari tujuan permainan ini juga dapat menghasilkan pemahaman tersendiri ketika dihubungkan dengan kehidupan manusia dewasa terutama kehidupan perpolitikan kita. Dalam permainan main cina, seperti yang sekadarnya saya lukiskan di atas terungkaplah suatu ungkapan yang boleh saya katakana mantra ampuh. Keampuhan mantra ini terbukti dalam kemampuannya membatalkan kesalahan atau menjadikan suatu peraturan yang dilanggar, dianggap suatu ketidaksengajaan. Media dari permainan ini selain kotak-kotak persegiempat yang terhubung sebelah menyebelah dalam susunan bertingkat, juga menggunakan suatu alat bantu yang disebut cina. Media jenis ini harus berbentuk bundar dan dapat saja berasal dari batu berbentuk pipih atau pecahan kaca berbentuk pipih -bundar. Bentuknya sendiri bertujuan untuk membidik kotak dan harus jatuh tepat di tengah kotak atau tidak bersentuhan dengan garis. Kalua seandainya cina bersentuhan dengan garis maka akan dinyatakan kalah. Mantra surlele salah satunya bias digunakan untuk kesalahan nyata seperti ketika media berupa cina yang dilempar pemain mengenai garis. Mantra surlele dapat menjadi senjata ampuh yang dapat membatalakan kesalahan dan permainan akan terus menjadi gilirannya.Ada banyak situasi dan kondisi nyata dalam permainan main cina masa kanak-kanak yang menunjuk kepada ampuhnya mantra surlele. Setiap permainan masa kecil seperti yang pernah dialami terutama di lingkungan penulis pasti akan terngiang mantra surlele. Demi meluputkan diri dari kesalahan dalam permainan, mantra surlele menjadi senjata ampuh yang digunakan dan menjadi pratanda bahwa permaina yang sedang dimainkan tidak rela untuk dicaplok oleh orang lain.
Dalam paham yang lebih menyeluruh, kita dihantar kepada cara pandang kita dalam berpolitik. Semua orang yang paham akan politik dan Sebagian besar pemahaman itu terhubung kepada partai-partai politik dan muaranya kepada kekuasaan birokratif. Politik sangat lama dipenjara oleh kredo tradisional sebagai aktivitas eksklusif mereka yang berada di institusi pemerintahan atau sejenisnya.[9] Dengan nuansa paham politik yang seperti inilah yang biasanya mudah terhubung dengan mantra ampuh permainan masa kecil dalam kata surlele. Perhatian kita pada masa milenial ini tertuju kepada percaturan politik baik dalam skala lokal, nasional maupun global. Semuanya terpampang dengan jelas berbagai dinamika yang diletupakan oleh manusia dalam mengusung berbagai isu perpolitikan. Di tengah-tengah hinggar binggar demokratisasi politis dan globalisasi ekonomis di dalam masyarakat kita, ada realitas pahit yang dibiarkan kelu oleh gilasan waktu. [10]Dunia perpolitikan kita mau tidak mau, suka tidak suka, berkisaran antara kehendak kuat massa pada umumnya dan trik ampuh partai politik. Rakyat yang terkapling dalam partai-partai politik dan para pemimpin partainya saling bersikutan dengan kolaborasi koalisi dalam politik pemilihan. Para elit dan partai politik boleh bertarung dan saling menyerang sebelum pemilihan umum, namun setelah Pemilu berakhir, mereka berembuk dan membangun koalisi besar.[11] Semakin besar pengaruh suatu figur dengan dibantu oleh partai politik sebagai tunggangannya, maka semakin besar pula peluang untuk menduduki jabatan tertentu dalam tata birokrasi. Ada gesekan, ada peraduan, ada sengketa antara orang-orang yang berkepentingan di dalam dinamika itu. Semuanya berjalan seolah-olah sudah ditentukan. Ada berbagai cara yang dilakukan dan pada umumnya yang paling lihai dalam memainkan trik sekalipun dianggap wajar dan terus berjalan hingga mencapai titik tertentu. Kita semua pernah mengalami berbagai situasi dimana dinamika sepert ini terjadi.
Semua skenario yang dimainkan dalam percaturan politik bermuasal kepada kehendak seluruh komponen masyarakat untuk menyelenggarakan suatu perhelatan akbar demi terlahirnya seorang figur penguasa yang seyogyanya mampu mengolah kebhinekaan hingga menjadi kekuatan yang dapat membangun suatu tatanan kebangsaan. Sinergitas antara berbagai elemen kebangsaan dalam kebhinekaan yang saling menyokong[12] satu sama lain adalah keharusan sehingga potensi anak-anak bangsa terus diberdayakan. Konsensus nasional yang menempatkan seorang pemimpin dalam bingkai demokrasi dengan konstitusi sebagai penjaminnya adalah iktiar untuk menjadikan bangsa dan Negara sebagai organisasi yang mampu menjamin kehidupan.[13] Cita-cita luhur dalam bungkusan politik seperti ini menjadi isapan jempol belaka karena ada banyak hal yang terjadi justeru menjadi ajang untuk saling menegasikan. Politik sebagai ajang merebut, mempertahankan dan melanggengkan kekuasaan, setidak-tidaknya rentan terhadap berbagai manipulasi seperti mengutamakan kepentingan pribadi dan mengabaikan bonum commune.[14] Ada fenomena Surlele dalam perpolitikan kita. Berbagai geliat politik busuk terus terjadi ketika hak-hak rakyat dijadikan komoditi pasaran dalam pusaran kekuatan politik. Seluruh kontrak bisa diringkas dalam satu frase tunggal: manusia setuju untuk menyerahkan makna ditukar dengan kekuasaan. [15]Penggelontoran dana demi pengembangan potensi rakyat dimanipulasi sedemikian sehingga ada perlombaan jata pemimpin. Terselenggaranya suatu program pemerintah tidak pernah luput dari adanya kotak hitam yang terus tersembunyi dan hanya diketahui dalam lingkaran kekuasaan yang sedang berlangsung. Ketika ada usaha untuk menemukan kotak hitam demi terkuaknya berbagai kendala dalam suatu program tertentu, pasti akan dijumpai berbagai mantra surlele. Mantra surlele dalam berbagai bentuk manipulasi dengan ketajaman retorika adalah senjata ampuh melawan berbagai usaha beberapa kalangan untuk menemukan kebenaran. Di sinilah spiral kotak hitam dengan bantuan mantra surlele menjadi paket politik yang terus mengandaikan keberlakuannya. David Held menegaskan bahwa mereka yang duduk di kursi pemerintahan atau lembaga politik berusaha menyunat politik dari ruang publik menjadi ruang khusus yang hanya terbuka bagi sebagian subjek yang memiliki kata sandi.[16]
Mantra surlele dalam penerapan main cina-nya anak-anak berlaku jika kesalahan yang dilakukan benar-benar memiliki unsur ketidaksengajaan. Artinya tidak dijadikan skenario untuk membenarkan kesalahan yang sungguh-sungguh terjadi. Ada situasi yang juga umum disepakati bahwa hanya kenyataan tertentu saja yang memberi ruang berlakunya mantra surlele. Tidak pada setiap situasi. Mantra surlele itu relatif. Bagaimana dengan mantra surlele ketika berada dalam ruang perpolitikan kita? Goresan berbagai kisah yang sempat terekam dalam jejak perpolitikan kita menunjuk kepada decak kagum yang meluluhlantahkan nilainya sebagai wahana sosial manusia. Keberdaan Negara bagi manusia adalah bersifat per naturam, jadi suatu tuntutan kodrat manusia sebagai makhluk sosial. [17]Goresan paham ini harus dikawal dari paham dasarnya yang mengetengahkan politik pada makna dasariahnya sebagaimana diungkapkan dalam padanan ZOON POLITIKON-nya Aristoteles.[18] Sukma dari pemahaman ini mendasari nilai kebersamaan. Politik adalah sarana untuk melayanai sasama dan untuk hal ini Aristoteles memakai istilah KOINONIA TEKNE.[19] Akan tetapi, ketika berhadapan dengan ruang persaingan politik, semua sendi yang membentuk keseluruhan sistem seolah-olah dikhianati. Politk surlele yang tampil dalam berbagai bentuk akan nampak jelas dalam berbagai problematika figur politikus yang terpaksa dipindahkan tempatnya dari kursi empuk kepemimpinan ke kursi hina kemaksiatan dalam jeruji penjara. Proses penerjemahan yang salah dari politik dalam demokrasi kita dengan berbagai konsekuensi hukum yang menyertainya menjadi tontonan biasa dari skenario besar yang terus menerus terjadi.[20] Aksi mempertahankan diri demi terlepas dari tuntutan hukum dengan mantra surlele-nya terus menggeliat dan menampakkan keampuhannya dalam ruang publik demokrasi kita. Proses pengkhianatan terhadap politik demokrasi bermuasal kepada konsep dan pengimplementasiannya. Rezim demokrasi ditandai dengan kehendak rakyat yang ingin hidup di bawah undang-undang yang sebisa mungkin tidak membatasi kebebasan dan sejauh mungkin mendukung hasrat bebas rakyat untuk mendapatkan apa saja yang dimaui. [21]Mengutamakan banyaknya suara sehingga terpilih menjadi pemimpin dan kurang memahami konsekuensi dari proses itu adalah salah satu dari kewalahan tersendiri dalam perpolitikan kita. Politik demokrasi kita yang selalu menjadikan kesejahteraan umum sebagai sukmanya dengan menjadikan segelintir orang dalam parlemen dan diyakini mewakili semua kepentingan masyarakat pada umumnya justeru menuai kontradiksi. Lingkungan publik sebagai massa yang mempercayakan kesejahteraannya kepada sebagaian orang yang duduk dalam lingkaran parlemen dipolitisasi dalam berbagai problematika pengangkangan. Keterlibatan massa dalam ruang politik yang dipolitisir oleh sebagian orang adalah fenomena pengkhianatan demokrasi dalam arti kata sebenarnya. Tanpa perhatian kepada orang-orang lain dan suatu cita rasa keterlibatan dengan kesejahteraan kolektif tidak ada lingkungan publik.[22] Esensi demokrasi adalah keterbukaan untuk menggapai suatu kekayaan dalam kebersamaan.[23]
Politik Indonesia dalam berbagai problematikanya dalam ruang diskutif ini adalah demokrasi yang disandera oleh mantra surlele. Kelihaian retorika politik dapat menjadi anak kandung dari ampuhnya politik surlele kita. Ruang demokrasi kita yang menempatkan kelas tertentu sebagai penguasa dan penentu kesejahteraan telah mengebiri kehendak massa dalam bejana pelibatan aktif partisipatif dalam demokrasi. Kekuasaan politis bukanlah milik kelas sosial tertentu, karena ia terdapat dimanapun para aktor sosial saling bercakap-cakap dan bekerja sama untuk memecahkan problem-problem bersama secara kolektif.[24] Hal ini sama sekali tidak menegasikan kekuasaan, perundang-undangan dan hukum sebagai bagian dari penerapan Negara yang menganut demokrasi sebagai wahana politiknya. Sebuah masyarakat yang prihatin akan kesejahteraan ‘umum’, artinya: kesejahteraan semua warganya, tidak akan mencapai tujuannya, yakni kesejahteraan umum ini, tanpa keteraturan dan organisasi, tanpa kuasa dan wibawa dan perundang-undangan, tanpa memaklumkan sanksi-sanksi atau hukuman-hukuman untuk menjamin pelaksanaan undang-undang.[25] Politik surlele yang beruratberakar dalam realitas demokrasi kita juga berasal dari cara kita menghidupi keanekaragaman. Paradigm mayoritas dan minoritas terus menggerogot bahkan dalam caranya lembaga-lembaga pemerintah memayungi kebhinekaan. Suatu politik yang ingin melancarkan homogenisasi atas keragaman sosial kultural di bawah penindasan sebuah ideologi dan kekerasan politis justeru ‘menabung’dendam kultural. [26]Politik Indonesia dengan menghidupi kehidupaannya dalam kebhinekaan mesti menjadi sinergitas yang saling mengandaikan keberlakuaannya. Politik adalah kebersamaan dan ketersalingan dalam kebhinekaan.[27] Memberi ruang kepada siapa saja dalam menentukan nasibnya dalam berdemokrasi adalah aras utama pada mana makna demokrasi sebagai deliberasi manusia ditempatkan. Demokrasi, dalam konteks deliberasi berarti bahwa masyarakat di segala tingkatan dilibatkan dalam proses pembicaraan, perumusan dan pengambilan keputusan.[28] Ruang demokrasi yang memelintir pendapat yang berbeda menjadi perhatian tersendiri dari kerdilnya paham kebebasan. Padahal pilar demokrasi adalah kebebasan berpendapat dan kebebasan untuk berbeda pendapat.[29]
[1] Konsep Lebenswelt dipopulerkan oleh filsuf Edmund Hussrel pendiri aliran fenomenologi. Untuk pembahasan lebih detail tentang pemikiran filosofisnya dapat dilihat dalam Herbert Spiegelbert, Struktur Kesadaran manusia dalam cahaya fenomenologi Transendental dalam Zainal Abidan, Filsafat Manusia:memahami manusia melalui Filsafat, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2003, hal.141-149. Bdk. Juga K. Bertens, Filsafat Barat Kontemporer:Inggris-Jerman,Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002, hal.104-115, bdk. Juga Lorens Bagus, Edmund Husserl:kembali kepada benda-benda itu sendiri dalam FX.MudjiSutrisno & F.Budi Hardiman(Editor), Para Filsuf Penentu Gerak Zaman, Yogyakarta:Kanisius,1992,hal.83-91. Lihat juga Ali Mudhofir, Kamus Filsuf Barat, Yogyakarta:Pustaka Pelajar,2001, hal.251-254.
[2] F.Budi Hardiman, Filsafat Fragmentaris, Yogyakarta:Kanisius,2007, hal.39.
[3] Bdk. Elly M. Setiadi & Usman Kolip, Pengantar Sosiologi: pemahaman fakta dan Gejala Permasalahan Sosial:teori,aplikasi dan pemecahannya, Jakarta: Kencana prenadamedia group, 2011, hal.446-447.
[4] Prof.Dr. Kaelan, M,S., Pendidikan Pancasila, Yogyakarta:Paradigma, 2014, hal.10.
[5] A.M.Fatwa, Demokrasi Teistis:Upaya Merangkai Integrasi Politik dan Agama di Indonesia, Jakarta:Gramedia Pustaka Utama, 2001,hal.271.
[6] Bdk. Maurice Duverger, Sosiologi Politik, penerj. Daniel Dhakidae, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada,2007,hal.27
[7] Budiarjo Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia, 1981,hal.8-9.
[8] Pengertian ini diberikan oleh John Von Nevman & Oskar Morgenstern Sebagaimana dikutip oleh Tadkiroatun Musfiroh & Sri Tatminingsih dalam Bermain dan Permainan Anak, Tangerang Selatan: Universitas Terbuka, Modul 7.6.
[9] P. Mutiara Andalas, S.J. Kesucian Politik: Agama dan Politik di tengah Krisis Kemanusiaan, Jakarta:Gunung Mulia, 2008,hal.225.
[10] F. Budi Hardiman, Hak-Hak Asasi Manusia. Polemik dengan Agama dan Kebudayaan, Yogyakarta: Kanisius, 2011, hal.129.
[11] Otto Gusti Madung, Politik Diferensiasi Versus Politik Martabat Manusia?, Yogyakarta: Ledalero, 2011,hal.181.
[12] Bdk. Felix Baghi (editor), Pengantar Editor:Pendahuluan, dalam Pluralisme, demokrasi dan Toleransi, Yogyakarta:Ledalero,2012,hal.37
[13] Bdk. Bhikhu Parekh, Rethinking Multiculturalism: Keberagaman Budaya dan Teori Politik, Yogyakarta:Kanisius,2008,hal.277.
[14] Isidorus Lilijawa, Mengapa Takut Berpolitik?,Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama, 2007,hal.30.
[15] Yuval Noah Harari, Homo Deus: Masa Depan Umat Manusia, Ciputat: PT. Pustaka Alvabet, 2018, hal. 229.
[16] Bdk. David Held, Political Theory and Modern State:Essays on State, Power, and Democracy, Standford: Standford University Press, 1989, hal.243-258.
[17] Norbertus Jegalus, Membangun Kerukunan Beragama dari Ko-Eksistensi sampai Pro-Eksistensi, Ledalero:Maumere,2011, hal, 3.
[18] Bdk.Aristoteles,The Politics, Pinguin Books, London, 1992,hal.53.
[19] Dalam tataran etimologis paham Aristoteles tentang politik sangat sesuai dengan kandungan maknanya. Kata politik berasal dari bahasa Yunani dari kata polis yang berarti masyarakat/public/kota dan taia yang berarti urusan/kepentingan. Arti etimoligis kata politk ini yang rujukan utamanya pada urusan atau kepentingan yang sifatnya umum/masyarakat pada umumnya (bdk. Webster’s New World Dictionary, Simon & Schuter, Inc., 1982, hal.144-145)
[20] Adanya perubahan pemahaman politik klasik dan politik modern dan ini berakibat kepada terkuaknya berbagai fenomena mantra surlele dalam perpolitikan saat ini. Untuk perubahan pengertian politik ini dapat dilihat dalam Hendry J. Schmandt, Filsafat Politik: Kajian Historis Dari Zaman Yunani Kuno Sampai Zaman Modern (penerjemah: Ahmad Baidlowi dan Imam Baheneng), Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2002.
[21] A. Setyo Wibowo, PAIDEIA.Filsafat Pendidikan-Politik Platon, Yogyakarta:Kanisius, 2017, hal.26.
[22] Giovanna Borradori, Filsafat Dalam Masa Teror: Dialog dengan Jȕrgen Habermas dan Jaques Derrida (penerjemah: Alton S. Taryadi), Jakarta: Buku Kompas, 2005, hal.90.
[23] Felix Baghi (editor), Pengantar Editor dalam Kewarganegaraan Demokratis. Dalam Sorotan Filsafat Politik, Ledalero: Maumere, 2009,hal.xiii.
[24] F. Budi Hardiman, Demokrasi Deliberatif: Menimbang ‘Negara Hukum’dan ‘Ruang Publik’ Dalam Teori Diskursus Jȕrgen Habermas, Yogyakarta: Kanisius, 2009, hal. 98.
[25] Dr. Nico Syukur Dister OFM, Filsafat kebebasan, Yogyakarta: Kanisius, 1988,hal.59.
[26] F. Budi Hardiman, Hak-Hak Asasi Manusia. Polemik dengan Agama dan Kebudayaan, Op.Cit.,hal.73-74.
[27] F. Budi Hardiman, Memahami Negativitas. Diskursus tentang Massa, Terror dan Trauma, Penerbit Buku Kompas, Jakarta,2005, hal. 9.
[28] Yosef Kladu Koten, Partisipasi Politik. Sebuah Analisis Atas Etika Politik Aristoteles, Ledalero: Maumere, 2010,hal. 234.
[29] Richard M. Daulay, Amerika VS Irak. Bahaya Politisasi Agama, Jakarta: Libri PT.BPK.Gunung Mulia, 2009, hal. 85
Tinggalkan Komentar