(OLEH VINSENSIUS NURDIN)
PARA PEMBACA YANG BUDIMAN. BERIKUT INI SAYA MEMASUKAN KEMBALI TULISAN SAYA YANG TELAH DITERBITKAN DALAM OPINI POS KUPANG RABU 26 OKTOBER 2016
Sman3borong.sch.id-Politik sebagai panggung sandiwara kian hari kian menebal dalam lapisan epistemik masyarakat sebagai ekspresi negatif terhadap wacana politik yang justru merenggangkan persatuan. Panggung sandiwara berarti ada permainan yang sengaja dipetontonkan dan menimbulkan kegairahan senidiri untuk pelakon maupun penikmat. Ada rekayasa dalam sandiwara itu yang sengaja dibuat untuk kepentingan-kepentingan tertentu yang bahkan telah diketahui oleh banyak orang. Manipulasi dalam politik panggung sandiwara ini telah berakibat kepada reaksi negatif masyarakat akan keberadaan lembaga-lembaga tertentu dalam masyarakat. Menyamakan suatu lembaga pemerintah dengan capaian partai tertentu dengan latar belakang kekusutan politik sudah menjadi informasi yang setiap harinya diperbincangkan. Kekusutan berpolitik tidak saja berhubungan dengan capaian partai politik tertentu, tetapi juga nafsu purba manusia yang sulit dikudung. Contoh untuk hal ini adalah maraknya permasalahan PUNGLI dalam lembaga-lembaga negara akhir-akhir ini. Politik hari ini adalah politik kepentingan dan kekuasaan. Kepentingan dan kekuasaan bisa mewakili daftar panjang praktek berpolitik di zaman kita.
Politik yang sudah jauh dari makna awalinya di zaman purbakala telah ditafsir secara serampangaan sesuai kebutuhan oleh segelintir elit politik di zaman kita. Politik yang beridentifikasi dengan kekuasaan sudah lama ditunggangi oleh oknum tertentu sehingga dapat menikmati empuknya kursi kepemimpinan. Efek politik yang berkonotasi ini kemudian memberi validasi kepada maraknya sikap yang meremehkan makna mulia dari politik itu sendiri. Di sinilah sosialitas yang mestinya terus dieratkan karena aktivitas politik menjadi longar. Semakin banyak pemahaman yang salah akan makna politik, semakin besar pula tersedianya ruang berkelompok secara ekstrim.
Zoon politikon (manusia berpolitik) yang disuarakan Aristoteles, filsuf Yunani, dengan tujuan mulia demi kesatuan manusia yang berbeda, menuai protes panjang dalam cara yang berbelit dari segelintir cendikiawan, kaum akademis maupun masyarakat kita menterjemahkannya dalam kehidupan berpolitik . Aktivitas perpolitikan kita telah memangkas nilai identitas manusia. Mengakui identitas dalam keberbedaan bukanlah demi perbedaan itu sendiri, tetapi sebuah tanggung jawab primordial dalam mengarisbawahi kerekatan antara hak dan kewajiban. Kita memiliki hak untuk berbeda, tapi juga ada kewajiban untuk tetap bersatu. Kedua tanggung jawab ini diharuskan tidak melampaui satu dengan yang lainnya. Dalam tanggung jawab inilah kita merayakan diversitas.
Merayakan diversitas berasaskan keyakinaan dalam makna politik yang tidak mengkapling manusia secara ekstrim berdasarkan apa saja. Suku, agama, ras dan golongan tidak akan pernah meleburkan makna politik demi kebersatuan segenap warga negara. Landasan kebersamaanpun tidak mengabaikan perbedaan yang membuat kita unik dari yang lain. Ontologi dari sebuah politik hemat saya adalah pada legitimasinya akan differensia spesifica segenap komponen dalam mayarakat. Dengan adanya pengakuan akan pembeda khusus ini, warga masyarakat tidak saja menjadi bagian dari suatu komunitas atau juga memperkaya kebersamaan, tetapi juga memberi respek akan adanya payung yang memberi wadah kepada keberbedaan itu. Isu keterpecahaan muncul di tengah meleburnya begitu saja keberbedaan dalam kebersatuan.
Kembali kepada sang filsuf Yunani Aristotelas yang mengarisbawahi materi perekat dalam politik adalah kesatuan dalam keberbedaan. Zoon politikon adalah hakekat manusia . Manusia pada dasarnya berpolitik. Dengan ini makna politik mau disingkiran dari tafsiran murahan, misalnya beridentifikasi dengan kekuasaan . Zoon politikon mau mempertegas hakekat manusia, ia tidak berasal dari faktor eksternal seperti adanya campur tangan para dewa. Selanjutnya, zoon politikon memberi penjelasan akan eksistensi manusia yang berpolitik itu. Semua keberlainan masyarakat atau semua potensi berbeda pada setiap individu masyarakat menemukan aktualitasnya dalam polis. Polis adalah aktualisasi potensi khusus dari warga masyarakat yang berbeda. Dengan ini mau dikatakan bahwa setiap individu dengan keberlainannya dalam ranah politik – sesuai dengan hakekatnya – memberi sumbangan yang berarti demi kebersamaan warga negara. Pemberdayaan potensi khusus inilah yang dapat menciptakan suasana perayaan dalam diversitas. Kita merayakan kebersamaan dalam keberbedaan kita.
Dari uraian di atas akan muncul pertanyaan yang cukup fundamental tetapi retoris. Bagaimana kesatuan muncul dari keberbedaan? Demokrasi sebagai wahana politik yang dianggap mampu menampung fakta keberagaman bukanlah isapan jempol belaka. Hakekat demokrasi ditemukan pada terakomodasinya keberlainan dalam kebersamaan. Kebersamaan tidak dalam pengertian peleburan, tetapi identifikasi dari keberlainan itu tetap tampak. Usaha sadar akan hal ini akan dengan pasti mencapai masyarakat yang tidak merasa “kesepian di tengah keramaian”. Ia tidak merasa terpinggirkan, terasingkan, tetapi menjadi bagian utuh dalam perayaan kebersamaan itu. Ia-entah sebagai individu maupun kelompok-membawakan satu mata acara dalam perayaan diversitas kebersamaan itu, bukan hanya penonton belaka.
Merayakan diversitas dalam politik demokrasi berarti menggarisbawahi nilai intrinsik yang terdapat dalam komponen masyarakat yang memang berbeda. Berbeda-beda, tetapi tetap satu adalah jargon klasik sebuah idealisme negara. Kelahiran jargon ini bukan tanpa pertimbangan. Ia lahir dari kesadaran fundamental bahwa fakta keberagaman adalah salah satu sisi, tetapi keharusan untuk bersatu merupakan sisi lain dalam satu keping mata uang. Kehadiran yang satu mengandaikan yang lainnya. Yang satu tidak dapat terkatakan dan tidak dapat ada tanpa yang lainnya.
Merayakan diversitas sebagai suatu perayaan nasional harus terbukti dalam kehidupan bermasyarakat. Pengkaplingan masyarakat berdasarkan latar belakang yang berbeda dan dengannya menciptakan persaingan tidak sehat dan perendahan martabat orang lain adalah pengangkangan terhadap diri sendiri sebagai bagian dari warga negara dan penistaan terhadap makna demokrasi . Berbagai konflik di tingkat lokal maupun nasional karena fakta keberbedaan adalah jawaban dari kurang mampunya warga masyarakat mengelola diri dari keberlainannya dalam kebersamaan. Di sini harus ditegaskan sekali lagi-sambil mengikuti pendapat Hannah Arendt, seorang filsuf modern, dalam vita activa-Nya-bahwa aktivitas politik lahir dari fakta keberagamaan. Dalam politik ada dialog, ada komuniksi dengan orang lain yang berbeda. Di sana akan terjadi perayaan kebersamaan antara orang-orang yang berbeda. Dialog atau komunikasi bukan untuk menemukan suatu yang terbaik, tetapi kebaikan bagi semua dengan memberdayakan berbagai komponen yang berbeda.
Kita wajib merayakan diversitas, karena kita berhak untuk berbeda dan menghidupi keberbedaan dalam kebersatuan. Kedua penekanan ini dialami sebagai konklusi dari sebuah negara yang diramu dari keberbedaan. Negara kita adalah negara yang memiliki situasi seperti ini. Para pendiri negara sungguh menyadari alas dari pembentukan negara. Perdebatan mereka dahulu mengiktiarkan usaha sadar akan situasi di wilayah RI yang kemudian menjadi negara RI. Pematokan akan salah satu yang terbaik dalam keberagaman akan menciptakan perpecahan, karena setiap yang berbeda itu akan mengklaim terbaik. Maka, memberdayakan setiap yang berbeda akan menciptakan kebaikan yang sifatnya general. Setiap warga dalam perayaan diversitas memberi sumbangan terhadap perayaan itu. Demokrasi sebagai jembatan kepada perayaan itu harus sungguh dimanfaatkan demi penegakan keadilan secara merata kepada setiap individu dalam masyarakat.
PILKADA-PILGUB NTT sudah semakin dekat. Berbagai gejolak politik menyertai dinamika hingga sampai pada hari yang ditentukan. Partai politik dengan strateginya masing-masing teleh terendus di setiap lini kemasyarakatan. Uforia pra pemilihan menjadi berita hangat konsumsi media lokal. Ada berbagai fakta yang mencuat dari berbagai pergerakan politik menjelang PILKADA-PILGUB NTT. Salah satu di antara sekian fakta adalah isu yang berhubungan dengan tema tulisan ini yang dirumuskan dalam pertanyaaN: Apakah dasar dari pergerakan pra PILKADA-PILGUB NTT memiliki dasar pada suatu perayaan kegembiraan dalam keberbedaan? Merayakan diversitas menjelang PILKADA-PILGUB NTT perlu terus dikampanyekan mengingat dasar dari pemilihan kepala daerah-gubernur berarti mempercayakan seseorang untuk dapat mengemudikan (gubernare) daerah-Propinsi ini menuju pelabuhan yang diidamkan. Seorang yang akan memimpin Propinsi ini ke depan yang kemudian di namakan gubernur (dari kata kerja Latin gubernare) adalah seorang figur yang mampu mempastikan penumpangnya nyaman hingga ke tujuan, demikian pun seorang Bupati. Mempastikan mengacu kepada kapabilitasnya mengelolah keberagaman atau memberdayakannya hingga menjadi kekuatan yang terus bersinergi demi persatuan dan pembangunan NTT. Merayakan diversitas demi demokrasi NTT dalam PILKADA-PILGUB yang akan datang berarti pula mengafirmasi berbagai perbedaan sebagai kekayaan. Unsur SARA yang berbeda tidak harus menjadi problematika yang meregangkan kesadaran akan kenyataan kebersatuan kita di wilayah NTT.
Tinggalkan Komentar