oleh : Gabriel Klaus Gaut- Guru SDK Sita
Lolosnya SMAN 3 Borong sebagai salah satu Sekolah Penggerak untuk Kabupaten Manggarai Timur bukan tanpa perjuangan. Only the fight counts; hanya perjuanganlah yang menentukan, dan buah yang dicapai dari jeri payah itulah yang selalu kita sebut keberhasilan; ‘Certo labore solverit’, kata orang Latin. Sejak saat itu tanggung jawab maha luas melekat di pundak, baik secara kelembagaan pun secara personal; kepala sekolah, pendidik, tenaga kependidikan, dan peserta didik SMAN 3 Borong. Pantuan penulis, label Sekolah Penggerak itulah yang justru menajadi ‘terminus a quo’ titik tolak yang baik yang dapat secara bebas diterjemahkan sebagai peluang sekaligus tantangan yang mau tidak mau dijalankan oleh lembaga ini. Atribut Sekolah Penggerak bagi SMAN 3 Borong bukan sekedar asesoris dan kehormatan belaka, melainkan terutama tanggung jawab untuk makin mendekatkan keadaan dengan cita-cita, yaitu membumikan visi pendidikan Indonesia dalam mewujudkan Indonesia maju yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian melalui terciptanya Pelajar Pancasila.
Sebuah survei dengan wilayah penjelajahan terbatas. Melalui tulisan yang sederhana ini, penulis hendak memberikan kesan, juga sedikit bercerita tentang apa yang penulis lihat-amati dari proses (pelaksanaan kurikulum sekolah penggerak) yang sedang dijalankan di SMAN 3 Borong. Tidak semua hal akan dicurah-gagasi, tetapi satu titik kecil saja, yang menurut penulis, perlu diangkat ke permukaan sebagai bentuk apresiasi di satu sisi, dan di sisi lain dapat dijadikan sebagai bahan referensi bagi sekolah yang belum memulai dan bahan pembanding bagi yang sudah memulai. Titik bidik kecil yang akan dibahas penulis adalah porsi perhatian yang sangat intens dari lembaga ini pada kompetensi peserta didik yang sedang dikembangkan melalui kurikulumnya, yaitu Ecoliteracy atau kemampuan yang berhubungan dengan keterkaitan peserta didik sebagai manusia dengan lingkungan alam sekitarnya.
Ecoliteracy itu apa? Sebelum penulis menggali lebih jauh tentang penerapan Ecoliteracy di SMAN 3 Borong, penulis mengajak sidang pembaca untuk sejenak berhenti; mengenal dan memahami sedikit apa itu Ecoliteracy serta tempat dan ruangnya dalam konteks program Sekolah Penggerak yang pada saat ini sedang dikumandangkan di ruang pendidikan negeri ini. Secara etimologis, Ecoliteracy berasal dari dua kata, yaitu eco dan literacy. Eco berasal dari kata bahasa Yunani, oikos artinya rumah tangga atau dalam pemahaman luas berarti alam semesta, bumi tempat tinggal semua kehidupan, habitat atau rumah tempat tinggal semua kehidupan. Eco kemudian secara umum dipahami dan digunakan untuk kata lingkungan hidup. Sedangkan ecological adalah kata sifat dalam bahasa Inggris untuk kata ecology. Secara etimologis kata ecology itu sendiri merupakan paduan dua kata bahasa Yunani, yaitu oikos dan logos. Logos dalam bahasa Yunani berarti ilmu, sehingga Ecology berarti ilmu tentang bagaimana merawat dan memelihara alam semesta tempat tinggal. Dengan demikian, Ecoliteracy sebenarnya adalah suatu gerakan tentang penyadaran kembali akan pentingnya kesinambungan atau kelestarian lingkungan hidup.
Ecoliteracy, tempat dan ruangnya dalam program Sekolah Penggerak? Aktor lapangan sekolah-sekolah penggerak tentu memiliki pemahaman dasar bahwasanya Program Sekolah Penggerak berfokus pada pengembangan hasil belajar siswa secara holistik yang mencakup kompetensi literasi dan numerasi dan karakter, yang diawali dengan sumber daya manusia yang unggul, yaitu kepala sekolah dan guru. Intervensi SDM aktor di lapangan, hemat penulis, mesti berdimensi praktis pada konkretisasi 5 intervensi program Sekolah Penggerak yang saling terkait satu sama lain. Penulis tidak menjelaskan kelima intervensi tersebut, tetapi coba meneropong celah masuk mana yang dapat diterobos untuk memasukan Ecoliteracy dalam 5 amanah (intervensi) tersebut. Intervensi ke-3 dalam program Sekolah Penggerak; pembelajaran dengan paradigma baru adalah jawabannya. Penulis menyadari bahwa pada tataran konsep, guru sebagai fasilitator kegiatan pembelajaran sudah banyak tahu tentang paradigma baru dalam kegiatan pendidikan di sekolah. Semua mengamini bahwa orientasi dan reorientasi konsep-konsep pembelajaran di ruang pendidikan kita adalah sebuah kemendesakan, dan ada bagian-bagian dari kemendesakan tersebut yang merupakan konsekuensi logis dari situasi global tentang manusia dan alam tempat hidupnya. ‘Humanum mum ad naturalem ambitum pertinent ad ipsius vitae curam’- penghargaan manusia pada alam-lingkungan sekitarnya adalah uapaya merawat kehidupan itu sendiri, ‘
Ecoliteracy di SMAN 3 Borong sebagai medan belajar peserta didik. Tema besar ‘Kewirausahaan’ program Sekolah Penggerak dirumuskan lebih kontekstual-praktis oleh lembaga ini dalam subtema ‘menjadikan peserta didik sebagai petani milenial’. Bukan tanpa dasar. Pertama. Subtema ‘Menjadikan peserta didik sebagai petani milenial’ dari perspektif Progresivisme dan Humanisme. Progresivisme dan Humanisme adalah dua konsep pendidikan kontemporer yang penerapannya diamanahkan dalam perubahan paradigma pembelajaran dalam ruang pendidikan kita. dan pembelajaran SMAN 3 Borong menyadari dirinya sebagai sebuah miniatur (dunia kecil) masyarakat yang lebih luas. Bagi lembaga ini, pendidikan dilihat dalam kaca mata pandang bagaimana para peserta didiknya dididik dan diajar dalam dunia yang lebih luas di sekeliling mereka, karena pendidikan adalah kehidupan itu sendiri dan tidak mengambil tempat pada dunia tersendiri dalam dinding-dinding kelasnya saja. Dari kalimat subtema yang berupa frasa tersebut, tersurat satu makna pesan bahwa pembelajaran subtema tersebut akan lebih dari sekadar sebuah persiapan untuk hidup, tetapi merupakan kehidupan itu sendiri. Selain itu, dengan subtema tersebut SMAN 3 Borong sebetulnya berupaya menghadirkan nilai-nilai pendidikan yang humanis, yaitu kependidikan yang diresapi dengan kepercayaan serta rasa aman. Membawa peserta didik dalam suasana lingkungan yang nyata akan membebaskan mereka dari ketakutan-ketakutan yang menghabiskan energi dan destruktif, dan akan memungkinkan energi lebih banyak dikembangkan ke arah penumbuhkembangan kreativitas dan aktualisasi diri. Kedua, kondisi lingkungan sekolah yang memiliki lahan yang cukup luas di satu sisi dan membaca kans usaha budidaya tanaman holtikultura sebagai komoditi yang dapat diandalkan untuk meningkatkan kesejahteraan hidup peserta didik SMAN 3 Borong di kemudian hari barangkali menjadi titik tolak yang kuat untuk memasukan subtema tersebut. Maka pada aras ini, bagi lembaga SMAN 3 Borong, belajar tidak saja berakhir pada titik ‘learning to know’ tetapi juga berdimensi praktis: learning to do, learning to be, dan learning to live together. Dalam bahasa Mangarai empat paradigma baru pembelajaran tersebut dapat secara bebas diterjemahkan dengan pandé baé (aspek kognisi-teori), baé pandé (aspek psikomotor-keterampilan), ciri ata (menjadi orang yang berguna), dan kantis nai (kemampuan afektif-kemampuan yang berkaitan dengan sosialitasnya sebagai makhluk sosial). Ketiga, peserta didik SMAN 3 Borong adalah kaum muda terpelajar yang seluruh ziarah pertumbuhan dan perkembangannya tidak dapat begitu saja dilepaskan dari aras perkembangan zaman yang kian pesat. Realitas global telah banyak memberi cukup bukti bahwa perkembangan zaman yang kian pesat tersebut ikut mempengaruhi cara atau pola hidup kaum muda terpelajar kita. Penulis dan sidang pembaca tentu mengamini bahwa pola peradaban global yang semakin maju membawa dampak positif bagi kehidupan kaum muda kita. Ada sejumput implikasi konstruktif dari perkembangan peradaban yang secara kasat mata dapat dilihat dalam bidang pendidikan. Namun di balik aspek positif yang dibawakannya, bagaikan dua sisi berbeda dari mata uang yang satu, pemuda pelajar kita terjebak dalam disorientasi nilai sebagai implikasi produk destruktif kemajuan dunia itu sendiri. Salah satunya adalah mispersepsi tentang pekerjaan dalam bidang pertanian (menjadi petani). Pekerjaan dalam bidang pertanian dianggap sebagai sesuatu yang anakronistik sehingga menimbulkan keengganan dalam melakukan karya-kerja tangan dalam mengolah tanah. Situasi kaum muda kita masa-masa sebelum Covid-19 yang lebih banyak pergi merantau (fenomena perantauan) di tengah sektor pertanian Manggarai yang bisa mendatangkan profit. SMAN 3 Borong sebagai sekolah penggerak yang lahir di bumi Congka Saé (Manggarai) melalui kurikulumnya hendak meretas mispersepsi tersebut dengan mewujudkan profil Pancasila yang menghargai usaha pertanian berbasis ekologi.
Pelakasanaannya (budidaya tanaman holtikultura) dalam pembelajaran. Subtema ‘menjadikan peserta didik sebagai petani milenial’ dalam pelaksanaannya merupakan Collaboration Project-proyek kolaborasi yang tagihannya tersebar di hampir semua mata pelajaran. Pengetahuan tidak hanya datang lewat penerimaan informasi sebagai substansi abstrak yang entah bagaimana dialihkan dari guru ke peserta didik. Untuk mata pelajaran Matematika dan Fisika dalam materi pengukuran yaitu mulai dari proses pembedengan. Mata pelajaran IPA Kimia dan Biologi secara terintegrasi tagihannya pada pemahaman dan proses pembuatan pupuk kompos, pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Sedangkan untuk mata pelajaran Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris tagihannya pada kompetensi siswa dalam membuat iklan. Dengan kolaborasi dan terintegrasi percepatan dan penyebaran kognisi dalam diri peserta didik terbangun dengan sangat baik dan menarik. Kesenjangan pengetahuan antarpeserta didik dan dalam diri peserta didik di masing-masing mata pelajaran dapat diminimalisir karena semangat berbagi pengetahuan terpupuk dengan baik. Dari pantauan penulis, kegiatan pembelajaran untuk tema Kewirausahaan ini dilaksanakan tidak hanya di dalam kelas, tetapi juga di luar kelas. Pendekatan yang digunakan juga bersifat eklektis. Kerja sama yang baik antarkepala sekolah dan guru tentu membuahkan karakteristik guru yang kreatif-inovatif, dan indikator profil guru yang kreatif-inovatif dapat dibaca melalui varian pendekatan yang digunakan dalam pembelajaran.
Petani Milenial, manusia lokal berpikir global bukan usaha yang gampang. Untuk mewujudkan subtem menjadikan peserta didik sebagai petani milineal, guru-guru SMAN 3 Borong menggunakan berbagai pendekatan sesuai dengan karaktersitik mata pelajaran masing-masing. Namun perlu digarisbawahi di sini bahwa sikap eklektis guru-guru di lembaga ini terhadap berbagai pendekatan pembelajaran tidak boleh dibaca sebagai ‘kopi paste’ semata, mereka adalah pribadi-pribadi yang kritis dan daya kritis yang mempribadi mereka tambahkan pada pemikiran-pemikiran (teori pendekatan pembelajaran) yang sudah ada.
Beberapa pendekatan berikut yang diterapkan di SMAN 3 Borong, antara lain: 1) Pendekatan Keterampilan Proses. Bagi lembaga ini, proses belajar lebih penting dari pada hasil belajar. Guru-guru di SMAN 3 Borong dalam proses belajar bersama peserta didik tidak pada peran ‘memberikan seekor ikan kepada peserta didiknya, tetapi memberikan kail’. Dengan demikian, peserta didik aktif terlibat dalam proses mendapatkan seekor ikan. 2) Pendekatan Kontentif. Proses tanpa konten tidaklah bermakna, sebaliknya belajar segudang konten tanpa memiliki kompetensi melanjutkan bagaimana perolehan harus dikelola dan diperlukan dalam realitas akan berakhir buntu. Kurikulum SMAN 3 Borong sangat intens memperhatikan aspek kebermaknaan bahan, kandungan atau isi bahan, nilai atau kebergunaan bahan dalam kerangka visi pendidikan nasional kita, yaitu mewujudkan Indonesia maju yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian melalui terciptanya Pelajar Pancasila. 3) Pendekatan Komunikatif. Apa yang diajarkan dan bagaimana proses pelajaran itu diajarkan tidak mendapatkan titik temu tanpa komunikasi yang baik. Para guru dan peserta didik SMAN 3 Borong adalah komunikator dan komunikan yang baik yang tentu saja berimbas pada efektifitas dan efisiensinya proses belajar. 4) Pendekatan Interaktif. Poin penting tentang siswa sebagai pusat belajar agar tercipta interaksi manusiawi sangat serius diperhatikan oleh lembaga ini. Aplikasi substantif dari konsep ini dapat dibaca pada keaktifan guru dan peserta didik SMAN 3 Borong, karya-karya kreatif yang dihasilkan dan yang dinikmati oleh masyarakat, serta ciri dinamis suasana pembelajaran dalam dan di luar kelas. Keterlibatan berbagai pihak terkait dan unsur-unsur pendidikan menjadi semacam menu utama dalam kegiatan pembelajaran, misalnya dari berbagai kegiatan talk show dan seminar yang telah dijalankan oleh lembaga ini. Singkatnya, gerak dinamika yang tetap; di sekolah, guru-guru SMAN 3 Borong memberikan aksi (rangsangan) agar peserta didiknya bereaksi, di masyarakat peserta didik yang telah dibekali di sekolah melalui kegiatan pembelajaran beraksi setelah mendapat aksi-stimulatif dari masyarakat. Kita semua tentu tahu bahwa aksi-reaksi-stimulasi adalah gerak dinamika (karakter dinamis) yang harus ada pada seseorang yang berpribadi mandiri.
Kegiatan refleksi oleh masing-masing guru mata pelajaran merupakan suatu kewajiban, selain karena amanah program Sekolah Penggerak, tetapi lebih sebagai tekad yang mendalam untuk memastikan bahwa setiap persoalan atau masalah yang dihadapi peserta didik harus mendapat jawaban di akhir setiap proses.
Biasanya, jika memang tidak salah, kegiatan refleksi di akhir setiap kegiatan pembelajaran inilah yang menjadi titik krusial bagi seorang guru; apakah kegiatan-kegiatan yang telah didesain sudah dilaksanakan atau belum; kalau sudah, apakah mendekati harapan yang diinginkan; apakah kegiatan-kegiatan pembelajaran yang dirancang hanya mengakibatkan rasa frustasi, kelesuan, ketidakpastian atau kepastian kepada peserta didik?
Akhirnya, Semoga kita semua sepakat bahwa mewujudkan profil Pelajar Pancasila jangan hanya dimaknai sebagai upaya pengembangan kompetensi intelektual, emosional, moral, fisik, serta sosial peserta didik saja, tetapi juga usaha yang serius untuk membuat tali silahturahmi antara manusia (peserta didik) dan kehidupan (lingkungan). Dengan demikian, bukanlah sesuatu yang berlebihan, bukan pula dilebih-lebihkan, jika penulis mengatakan bahwa Ecoliteracy itu ada di SMAN 3 Borong, dan Ecoliteracy yang mereka jalankan tersebut tidak hanya berfungsi sebagai sarana yang membuat peserta didiknya dengan tahu dan mau bertindak sebagai manusia (hominisasi), tetapi lebih pada taraf pemanusiaan peserta didiknya (humanisasi) agar bisa lebih mendekati harapan ‘mewujudkan Indonesia maju yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian melalui terciptanya Pelajar Pancasila. Perjalanan lembaga ini sebagai Sekolah Penggerak tentu tidak terlepas dari suasana komunitas sekolah di bawah kepemimpinan Bapak Konstantinus Everson Rada, S.Psi yang kerap disapa Pa Sony, yang selalu mengedepankan prinsip kooperatif, demokratis, dan dinamis dalam membangun atmosfer sosial sekolahnya. Guru-guru dan tenaga kependidikan lainnya yang selalu menampilkan aura profesorial mereka dalam setiap kegiatan SMAN 3 Borong; mereka adalah ‘Guru tu’ung/Tu’ung guru’-benar-benar guru dan ‘Ata tu’ung/Tu’ung ata’-operator dan tata usaha sekolah yang profesional di bidangnya, yang selalu update terhadap isu-isu pendidikan konteks kekinian serta jauh dari penyakit mindlessness. Profisiat dan teruslah berjuang menggapai cita-cita yang masih bergantung di balik birunya awan sampai ia jatuh ke sejengkal tanah pesemaian (SMAN 3 Borong) yang kita semua cintai.
Tinggalkan Komentar