Info Sekolah
Monday, 14 Oct 2024
  • Selamat Datang di Website Resmi SMAN 3 Borong
18 October 2022

TATANG TE TITONG, TATANG TE TOING, TATANG TE TONG, TATANG TE TA’ONG  (TATANG TE TINGENG, TATANG TE TINU)

Tuesday, 18 October 2022 Kategori : Artikel

Vinsensius Nurdin

Sman3borong.sch.id-Berbagai hal yang dilakukan manusia sejak zaman peradabannya dikelola dalam ruang penelitian manusia adalah bagian dari tanggung jawabnya sebagai makhluk yang selalu mencari dan tidak pernah puas dengan apapun. Kegigihan dalam pencarian menancapkan caranya manusia sebagai makhluk rasional yang mempertanyakan apa saja demi pemahaman yang lebih dalam. Peradaban tradisional sejauh yang bisa direkam oleh manusia dalam ruang kebudayaannya menengahi keterlanjuran sebagian massa yang mengintimidasi kenyataan itu sebagai proses yang tidak harus  dihubungkan dengan waktu kekinian. Kekiniaan yang dianggap sebagai penyempurnaan dalam rentetan waktu dikesampingkan sedemikian rupa sehingga dijadikan pelengkap penyerta dalam orientasi tertentu. Berbagai orientasi dalam keanekaragaman bentuk yang telah dicapai hingga saat ini dipelintir ke arah pencapaian dalam skop penyempurnaan dan mengingkari berbagai fenomen peradaban masa lalu. Hal ini nampak jelas dalam berbagai pernyataan yang dengan lugas menyatakan keengannnya pada literasi peradaban masa lalu atau merasa tidak berfaedah menggeruk puing peradaban masa silam karena dianggap hanya membuang waktu dan energi.

Kenyataan yang terjadi pada peradaban masa lalu yang coba direkam dan dimodulasikan dalam berbagai sistematika ilmiah adalah rumpunan usaha untuk menemukan nilai kebijaksanaan arkaik manusia pada tempat yang pertama dan pada tempat kedua keberlanjutan nilai itu yang tetap tinggal dalam orientasi zaman yang terus berubah. Orientasi zaman yang terus berubah ini telah didandani dengan pola pemahaman yang menjadikan peradaban kuno sebagai likang api/batu tungku sehingga berbagai pergeseran terutama waktu adalah keberlanjutan. Nilai yang dihidupi hingga hari ini terutama kemanusiaan pada umumnya bermuasal kepada pola peradaban yang telah terpolakan di masa-masa sebelumnya.

Dalam rangkaian pemahaman yang lebih dalam, perjumpaan dengan berbagai nilai hidup yang dialami manusia dalam pergulatan dan perbenturan zaman mengandaikan keapikan pribadi dalam menata dan mengolah diri sehingga dapat menyandingkannnya sebagai pedoman untuk tetap kuat di tengah tuntutan yang menggebu-gebu. Pribadi yang mumpuni adalah pribadi yang mampu mengasah berbagai keberagaman , pribadi yang mampu mengasuh berbagai peraduan waktu dan pada akhirnya adalah pribadi yang mampu mengasih bertandingnya kekuatan peradaban dalam ruang budaya asali dengan budaya zaman yang terus bergelora.

Penemuan identitas yang membudaya ini dan berasal dari endapan peradaban daerah Manggarai adalah hasil racikan yang terus membekas dalam frase yang berhasil dianalisis oleh Dami N. Toda dalam karya literasinya yang luar biasa MANGGARAI: MENCARI PENCERAHAN HISTORIOGRAFI. Buku terbitan tahun 1999 ini adalah satu diantara sekian buku yang menjadi rekomendasi dan referensi penemuan jati diri budaya Manggarai dalam menjawab tuntutan keberasalan sejarah yang patut dan layak diketahui. Saya tidak sedang mempromosikan buku ini dalan ranah bisnis, tetapi terutama adalah keterpanggilan insan rasional untuk menemukan tonggak sejarah pedoman arah. Menikmati buku ini membutuhkan stamina dan perhatian, karena kita akan didituntun untuk mengendus berbagai situasi sejarah yang luar biasa. Saya sangat bersyukur kepada lembaga SMAN 3 BORONG yang mempercayakan saya mengampuh mata pelajaran MUATAN LOKAL dan dalam hal ini POTENSI-POTENSI DAERAH Manggarai yang dapat dijadikan materi penjelajahan samudera peradaban daeerah Manggarai. Dalam mendalami dan bersama berdiskusi  dengan peserta didik SMAN 3 BORONG saya merasa wajib untuk menemukan refernsi yang dapat dijadikan bahan bacaan sehingga melengkapi berbagai acuan dalam menyelami peradaban potensi kedaerahan di Manggarai. Untuk maksud ini saya sangat bersyukur kepada sahabat saya Bpk. Konterius Prihatno, S.P.d salah seorang guru bahasa dan sastra Indonesia di SMAN 3 BORONG yang menawarkan saya bacaan tentang budaya Manggarai dan salah satunya opus magnum dari Dami N. Toda: MANGGARAI: MENCARI PENCERAHAN HISTORIOGRAFI. Pa Retno menantang saya melalui bacaan ini untuk mereflksikan pralambang dalam frase TATANG TE TITONG, TATANG TE TOING, TATANG TE TONG, TATANG TE TA’ONG.

tampak depan buku MANGGARAI MENCARAI PENCERAAHAN HISTORIOGRAFI

Sepintas lalu dalam tuturan penutur berbahasa Manggarai, frase di atas dapat dipahami dalam keseluruhan rangkaian kata per kata. Penutur berbahasa Manggarai masih dapat menjelajah jauh melampaui bentuk grafis dari suatu goét karena tujuan utamanya adalah untuk menemukan nilai yang terpancar darinya dan sedapat mungkin dijadikan pedoman dalam kehidupan manusia. Peluang yang sekaligus tantangan ini bagi saya adalah suatu cambukan yang menarik saya dari kekhusukan mempelajari dan melakoni hidup dalam kekuatan yang menjadikan zaman dalam putaran waktu sebagai tuan yang mesti diikuti tanpa memberi jedah dalam ruang refleksi. Penjelajahan budaya kedaerahan adalah satu dianatara sekian usaha untuk meyandingkan peradaban dalam putaran waktu dengan puncaknya kekinian dan peradaban yang lama terendap dalam pusaran peradaban masa silam. Kerangka harapan yang ditawarkan dalam usaha semacam ini adalah saya dan anda dibangkitkan karena litani peradaban dalam bahasa tuturan budaya telah menetaskan kemanuisaan dalam tataran lokal dan pasti akan menjamur peraduan waktu di zaman ini.

Dalam bukunya ini, Dami N. Toda merangkai konsep ini dalam penjelasan tentang pernak-pernik tentang rumah induk Niang Wowang Todo-Pongkor dan menamainya hiasan mahkota sebagai pengayoman dan lima pokok kepemimpinan. Keterangan tentang ini dapat ditemukan di halaman 304. Saya akan mengikuti penjelasan sang penulis dan menambahkan beberapa kesan sebagai penajaman.

TATANG TE TITONG(memerintah untuk/dengan membimbing dari belakang ke arah keutamaan)

Setiap perhimpunan individu pasti memiliki berbagai hal yang mesti menjadi pedoman untuk diikuti. Pedoman mengandaikan sesuatu yang apabila dilakukan akan berakibat kepada terurainya berbagai kemelut egoisme dan lebih dari pada itu terlahirnya keharmonisan prilaku. Bingkai dari semuanya ini menekankan pentingnya kepemimpinan. Menjadi pemimpin menisyaratkan berbagai kualitas yang mutlak ada. Kemutlakan kualitas diri pemimpin akan menjadikan komunitas di bawah kepemimpinnya terayomi karena teladan pemimpin yang menggerakkan. Kata bahasa Manggarai tatang dalam praktek tuturan keseharian merujuk kepada kemampuan pemberi tatang/perintah sehingga mampu membuat yang ditatang/diperintah tunduk dan patuh. Ketundukan dan kepatuhan tidak berasal dari rasa takut dan gentar tetapi karena pantas dan layak. Tatang juga mengacu kepada kemampuan verbal seseorang untuk memberi keyakinan kepada orang lain sehingga dapat diikuti. Dalam tataran kebahasaan pada umumnya, tatang mengacu kepada bentuk perintah tetapi sifatnya persuasif. Bahasa elitnya imperatif persuasif. Ada Kontradiksi, karena dalam  perintah ada ajakan. Di sinilah kekuatan dahsyat dari kandungan makna kata tatang. Kekuatan seorang pemimpin ada dalam kedahsyatannya memberi perintah tetapi dialami sebagai suatu ajakan. Ada banyak hal yang dapat diterapkan dalam hubungan dengan ini dalam kehidupan kita setiap hari. Menjalankan perintah kerena berada di bawah tempurung ketakutan atau menjalankan perintah karena tergerak oleh motivasi perubahan.  Dalam berbagai praktek tuturan keseharian, orang/masyarakat terkadang disusupi dengan makna kata tatang dengan menorah pada kisah ´pertaruhan’atau ‘pertarungan’. Tatang kadang mengacu kepada sesuatu yang buruk yang menjadikan dua orang atau lebih berselisish atau berkelahi. Cei ata tatang? atau tatang liong bao? adalah deretan frase dengan formulasi tatang. Hal seperi ini dialami ketika paham kita mengenai suatu konsep hanya berhenti kepada penggunaannya dalam situasi tertentu tanpa berkesempatan melampaui paham pra-reflektif itu ke ranah yang lebih luas dan dalam hal ini merujuk kepada pencarian etimologis dan aksiologis.

Dalam frase tatang te titong sebagai penutur bahasa dan menyelami artinya secara etimologis akan langsung memahami kedalaman makna darinya. Titong sendiri dalam perambahan praktis penuturan bahasa Manggarai sama artinya dengan membimbing sebagaimana yang dilansir oleh Begawan historiograf  Manggarai Bapak Dami N. Toda. Seberapa besar pengaruh dari seorang pembimbing dalam melakukan kegiatan membimbing sangat kentara dalam capaian tertentu dan dalam artian yang lain dapat ditaksir dari hasilnya. Seorang yang menyematkan dirinya sebagai pembimbing berarti memiliki kualitas yang dimiliki atau dengan kata lain orang tersebut pernah melewati jalan yang sama sehingga dia mengetahui berbagai trik yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan. Membimbing untuk mengarahkan berarti menggarisbawahi keyakinan saat ini bahwa seorang yang memberi tatang demi titong adalah pribadi yang tidak terutama menjadi subjek yang tahu segalanya dan menjadikan yang dititong sebagai obyek yang hanya membeo. Pribadi yang menjadi ´petatang´adalah seorang yang sementara mengali dan meyakinkan pribaadi lain yang ´ditotong´bahwa dia mampu melakukan sesuatu. Seorang “petatang”adalah -seperti yang sering kali kita dengar- pribadi yang tidak memberi ikan tetapi kail dan menunjuk tempat mana yang berpotensi besar untuk menangkap ikan. Dengan menyelami konsep ini, kita dihantar untuk memahami pembentukan karakter manusia bukan sebagai suatu bentuk keberhasilan karena mendapatkan apa yang diinginkan, tetapi terutama dan yang dituntut untuk paradigma baru saat ini adalah pribadi yang mampu mengelola potensi dirinya sehingga menjadi nyata keunikannya di tengah kerumunan massa yang selalu siap untuk bersaing. Frase tatang te titong adalah suatu endapan budaya Manggarai yang telah dicoba untuk direnungkan sehingga mampu bersaing dengan berjejalnya nilai zaman yang saling memperebutkan prestise bak memasuki lubang jarum. Kemampuan atau keberhasilan karena titong sesungguhnya adalah menunjuk kepada usaha manusia untuk menjadikan orang lain sebagai pribadi yang mampu bergelanggang dalam kompetisi zaman yang tidak pernah berakhir. Ada dua bentuk titong yakni dalam bentuk motivasi melalui kata-kata sehingga menggerakkan orang lain/verba movents dan motivasi melalui teladan hidup yang menarik orang untuk melakukan hal yang sama/exempla trahunt.

Sepintas lalu ketika mencoba menyandingkan frase endapan budaya Manggarai ini (tatang te titong)  dengan cakupan yang lebih luas di Indonesia pada umumnya dan terlahir dari rahim budaya pendidikan kita, maka dapat disandingkan dengan salah satu dari triadic Ki Hadjar Dewantara melalui penguatan dalam frase ing ngarso sungtulodo. Dalam pembentukan karakter mansia pada umumnya, lembaga pendidikan menjadi salah satu lembaga terdepan yang memproklamirkan diri sebagai perangkat Tatang yang menjadikan manusia sebagai manusia. Sebagai suatu lembaga, pendidikan seyogyanya adalah pembentukan manusia. Paham ini bukanlah retorika belaka mengingat geliat pendidikan kita yang terus menggerus daya humanitas manusia sehingga mampu terbedakan dengan binatang pada umumnya. Tanggung jawab primordial pendidikan terutama adalah berasal dari ketidakpuasannya melihat dan menyaksikan mansia yang terlahir sebagaimana binatang pada umumnya. Ketidakpuasan ini tertebus dengan daya upaya manusia pada umumnya untuk membentuk suatu lembaga tatang (pendidikan) sehingga mampu memberi titong (bimbingan) kepada makhluk manusia dalam memberdayakan kekuatannya. Para ahli memberi gambaran pemberdayaan ini dengan mengedepankan salah satu perangkat yang ada pada manusia dan karena perangkat inilah yang telah membedakannya dengan binatang pada umumnya. Perangkat itu adalah daya rasionalitas manusia. Kekuatan rasionalitas yang ada pada manusia dianggap menjadi pembeda khusus yang membedakannya dengan ras binatang pada umumnya. Tatang yang diberdayakan melalui kegiatan titong dialami sebagai usaha untuk mempertanggungjawabkan adanya manusia yang justeru dapat terbedakan dengan binatang pada umumnya. Frase tatang te titong beroperasi dalam semua rangkaian ini.

TATANG TE TOING

Dalam ulasan singkat menjelaskan padanan ini, Dami N. Toda menekankan: TATANG TE TOING=mendidik keutamaan dan keadilan. Sebagaimana yang sekadarnya saya pahami dari kata tatang  pada butir pertama di atas dengan berbagai implikasinya, maka pada point yang kedua ini cukupkan saja pada padanannya dalam kata toing. Kata ini sendiri dalam lintasan penutur harian secara harafiah merujuk kepada upaya memberitahukan sesuatu kepada orang lain. Kata toing sendiri sebagaimana dipraktekan dalam penuturan bahasa Manggarai adalah adanya kondisi dari sesorang yang butuh untuk ditoing. Pribadi sebagai petatang dalam memberi toing adalah seorang yang mampu member keyakinan kepada orang lain sehingga hasil toingnya itu terbukti. Harafiah toing yang berarti memberitahukan sesuatu yang tidak dikatahui atau masih kabur kepada orang lain berarti terlebih dahuli telah dialami sendiri oleh si pemberi tatang sehingga toingnya benar-benar menjawab tuntutan ketidaktahuan menjadi tahu dan kekaburan menjadi kejelasan, menjadi terang menderang. Inilah paling kurang idealisme petatang yang memberi toing. TATANG TE TOING= mendidik keutamaan dan keadilan mengacu kepada berbagai daya upaya menjadikan orang lain sebagai pribadi yang mempunyai kearifan diri sehingga memapu berada bersama dengan orang lain. kehebatan paham ini secara luas dapat dijodohkan dengan berbagai kegiatan manusia dalam pendidikan. Pendidikan sebagai lembaga penelur dan penetas keutamaan dan keadilan manusia berada dibawah awasan karifan lokal dalam padanan frase TATANG TE TOING. Lembaga pendidikan dalam skala literasi akademis pernah memproklamirkan dirinya sebagai wahana yang mampu menelurkan dan menetaskan manusia demi pengetahuan/education to know. Kelembagaan pendidikan sebagai salah satu perangkat demi pengetahuan manusia dibentuk demi tujuan mulia ini. Lembaga pendidikan dalam berbagai tingkatnya adalah instrument terdepan yang bertanggungjawab salah satunya demi pengetahuan manusia. Frase TATANG TE TOING yang sudah terekam dalam dunia saat ini  dan berafiliasi salah satunya dengan lembaga pendidikan adalah keberhasilan upaya manusia dalam menerjemahkan simbol kearifal lokal sehingga menjadi lebih sistematis. Perambahan selanjutnya dari penerapan ini adalah penemuan nilai keutamaan dan keadilan lokal yang mampu diterapkan dalam skala global. Berbagai bentuk keutamaan yang salah satunya mampu terurai dalam bentuk keadilan terungkap dalam berbagai tuturan adat dengan perintah dan larangan untuk berbuat ini dan itu. Pepatah adat/goét adalah salah satu kristalisasi verbal paham manusia Manggarai dalam upaya TATANG TE TOING=mendidik keutamaan dan keadilan.

TATANG TE TONG

Dalam setiap hal yang dilakukan oleh seseorang yang menjadi penunjuk jalan, dia sendiri pernah melewati jalan yang ditunjukkannya dan mengalami sendiri berbagai hal dalamnya ia belajar. Dengan paham ini, dapatlah suatu karakter manusia dibentuk dan tidak hanya berhenti pada penguatan kata semata, tetapi juga menjadi teladan. Padanan frase TATANG TE TONG merujuk kepada keaslian karakter pribadi pemimpin yang mampu menjadi penampung(tong) berbagai aspirasi masyarakat. Kedudukan sesorang dalam suatu tatanan sosial menyertakan tanggung jawabnya dalam seluruh pergumulan. Menjadi pemimpin yang dipercayakan untuk menjawab berbagai kebutuhan mendesak dari orang-orang yang dipimpinya kadangkala hanyalah rumus retorika politik. Dalam kenyataan muncul berbagai problematika pengangkangan status sosial dari setiap lini kehidupan. Terenggutnya tanggung jawab sosial pemimpin dikendalikan oleh bnayak faktor yang didandani sedemikian rupa sehingga akan nampak sebagai fenomena semata yang keberlakuannya menjadi isu latah sosial. Yang disoroti di sini adalah benteng pertahanan pengakuan diri seorang pemimpin yang seyogyanya beroperasi dalam berbagai kemelut kemasyarakatan telah digesek ke ruang public sebagai gejala kegagalan semata. Dengan gesekan seperti ini, sebenarnya adalah pengalihan status sebagai penampung (tong) ke status sebagai gejala biasa kegagalan seorang pemimpin. Dalam semua hal ini, mesti tetap diakui adanya proses yang terus mengorbit dalam pemahaman yang lebih utuh, sehingga suatu keberhasilan tidak hanya suatu pencapaian seperti dalam ceritera donggeng semata yang terjadi secara simultan dan langsung terjadi, tetapim melewati berbagai jangka waktu tertentu. Keberhasilan menampung aspirasi rakyat harus juga terpetakan dalam skala yang lebih luas dan mencakup keterjangkauan berbagai sarana dari kebutuhan mendesak rakyat. Konsep keberlanjutan dalam mengentaskan berbagai kemelut yang ada harus juga terus dideklarasikan demi terhubungnya paham antara seorang pemimpin dengan massa. Keberlakuan frase TATANG TE TONG untuk penutur asli berbahasa Manggarai dapat dipahami secara menyeluruh bahkan kata per kata. Lebih lanjut dari frase ini tepat bersarang pada nilai kepemimpinan karena akan menetaskan metode yang harus menjiwai pemimpin. Menjadi seorang pemimpin dalam skala sosial-politik dengan berbagai cara pencapaiannya telah mengakrabkan padanan ini sebagai bagian integral. Integritas seorang pemimpin ditemukan dalam keterhubungan mutlak dengan tanggung jawabnya sebagai pengayom dan pedoman. Skop politik modern telah mengesahkan kedudukan setiap pemimpin dalam peraturan perundang-undangan. Kemampuan menampung aspirasi dari massa yang dipimpinya melalui paradigma kebajikan lokal TATANG TE TONG mengisyaratkan salah satu kapabilitas seorang pemimpin ideal. Dalam salah satu diskusi mengenai tema ini dengan beberapa sahabat di SMAN 3 BORONG tergambar suatu kenyataan dari kata kerja menampung aspirasi rakyat. Merasa puas dan bangga dengan kemampuan menampung semata tanpa tindakan juga menjadi perhatian tersendiri dalam guliran waktu kepemimpinan. Untuk menerjemahkan dilema  kata menampung ada iktiar untuk memberinya sinonim seperti kemampuan seorang pemimpin yang tidak hanya mendengar tetapi mendengarkan.

TATANG TE TA’ONG

Kata ta’ong dalam perbendaharaan kata bahasa Manggarai berarti kemampuan menahan sesuatu yang menyakitkan, kemampuan menanggung beban yang ada sebagai bagian dari tanggung jawabnya entah sebagai apa saja. Kata ta’ong dengan rujukan pertahanan diri dalam berhadapan dengan berbagai tantangan yang melanda kehidupan. Penerjemahan bebas dari frase ini dapat dilakukan dalam bebagai situasi hidup. Salah satunya adalah ketahanan diri seseorang yang menjadi pemimpin suatu komunitas tertentu. Kemampuan menerima kritikan terhadap berbagai kebijakan kepemimpinannya adalah salah satu ketangguhan diri seorang pemimpin. Berhubungan dengan hal ini, perlulah bagi kita untuk member penekanan pada kata kritik sehingga tidak menjurus kepada kesalahpahaman dalam penerapan kehidupan sehari-hari. Kata kritik merupakan asimilasi kata krinein dari bahasa Yunani. Kata kerja krinein sendiri dalam etimologi bahasa Yunani berarti memurnikan, menjernihkan, membuat jadi bersih. Kekuatan positif yang berasal dari kata ini kadangkala disalahartikan dalam perbendaharaan kehidupan berbahasa Indonesia. Kadangkala orang yang member kritik dianggap sebagai penghambat sehingga banyak diantaranya harus mengalami perlakuan keji karena usahanya memberi kritikan. Keterlanjuran massa yang memandang kritikan sebagai sesuatu yang negatif dialami sebagian besar dari kita karena minimnya paham yang mesti beroperasi dalam kata itu sendiri. Keterlanjuran ini diperparah oleh orang tertentu yang menjadi sasaran kritikan dan mengkampanyekan muatan negative karena mengeritik. Tatkala menoleh kearkaikan istilah kritik  dengan berbagai geliat negatif terhadapnya, maka simpulan kita adalah kurangnya referensi kita terhadap perubahan kata dan maknanya dalam keseluruhan pemakaian keseharian. Usaha mendekatkan makna kata dalam padanannya dengan pemakaian keseharian banyak dialami generasi sekarang ini. Perkembangan pemakaian kata tertentu juga turut dipengaruhi oleh pemakainnya dalam keterlanjuran yang tidak mudah dibendung dalam kehidupan setiap hari. Salah satunya dalam kata kritik sebagaimana yang dimaksud di atas. Keotentikan kepemimpinan seseorang  teletak salah satunya bukan pada kekebalannya terhadap kritikan atau seleberan anti-kritik, tetapi pada pemberdayaan mengelola kritikan menjadi sinergitas yang membagun. Kemampuan seorang pemimpin dalam mengelola kritikan hingga menjadi kekuatan dan peluang dalam pembangunan yang berkelanjutan.

RUMAH NIANG

Stigma kritik sebagai duri dalam daging sangat tidak cocok dengan nuansa kepemerintahan kita yang menempatkan pemimpinnya pada kursi kepemimpinan dalam proses demokrasi. Setiap yang menjadi pemimpin dalam cakupan Negara demokrasi seperti kita semestinya menjadikan kritikan sebagai arena penemuan identitas diri sebagai pemimpin. Seorang yang menjadi pejabat publik dalam peredaran demokrasi kita telah menjadikan kritik sebagai media bagi rakyat untuk mengontrol berbagai kebijakan pemerintah. Meskipun juga ditemukan adanya beberapa orang atau kelompok yang menjadikan media ini sebagai bahan cemoohan dan hinaan demi prestise individu atau golongan. Tidak jarang ditemukan orang yang memberi kritikan kepada pemerintah berasal dari kepentingan sporadik beberapa orang atau golongan tertentu.

anak-anak SMAN 3 BORONG mengikuti latihan fisik(karate) salah satu bentuk TATANG TE TOING,

Tulisan Lainnya

No Comments

Tinggalkan Komentar

 

Agenda

23
Jul 2023
waktu : 08:00
23
Jul 2023
waktu : 08:30
08
Aug 2022

Info Sekolah

SMAN 3 BORONG

NSPN : 50309258
JAWANG, Golo Kantar, Kec. Borong, Kab. Manggarai Timur Prov. Nusa Tenggara Timur
TELEPON 082145071833
EMAIL smantigaborong@gmail.com
WHATSAPP +62-82145071833