OLEH VINSENSIUS NURDIN
Terima kasih dokumentasi. biasanya tulisan sendiri yang diterbitkan oleh majalah harian seperti pos kupang selalu tetap tersimpan meskipun tercecer. Tulisan ini saya ketik kembali dari opini saya yang diterbitkan pada SELASA 21 Maret 2017. Semoga menambah khazanah pembaca sekalian sebagai kolekktor literasi meski ditempatkan di rak paling bawah.
Sman3borong.sch.id-Eksistensi sebuah negara tidak terpisah dari konsensus dalam kebersamaan demi menentukan arah dan pijakan yang mesti dilakoni dalam berbagai elemen. Semua elemen yang beroperasi dalam kebersamaan itu bertindih tepat kepada kehidupan suatu himpunan individu atau masyarakat. Pendekatan sosiologis dan antropologis dalam rengkuhan kultur tertentu menjadi salah satu instrumen untuk melekatkan hubungan antara kepentingan masyarakat akar rumput dengan visi misi kesejahteraan umum di pihak yang lain. Kedua hal ini mengorbit secara bersama tanpa tumpang tindih ataupun melampaui satu dengan yang lainnya.
Dalam bentuknya yang paling asali, eksistensi negara tidak dapat mengabaikan sejarah pembentukan dan tujuan keberadaannya apalagi mengkhianatinya. Negara yang besar baik dari segi kewilayahan maupun pemerintahan kokoh-kuat bersinergi berbagai elemen penyokong. Sinergitas antara elemen penyokong menjadi titik tumpu termanifestasinya sebuah negara model. idealisme negara model tidak berasal dari pemerintahan dongeng di dunia halusinasi, tetapi menyata dari terukurnya berbagai elemen yang kredibel dan akuntabel.
Keberhasilan suatu negara tidak berhenti pada suatu ukuran tertentu saja, misalnya penyerapan anggaran yang habis terpakai dalam laporan fiktif keuangan dalam besaran tertentu. Tetapi salah satunya terlahir dari tidak terungkapnya umpatan mencela pemerintah atau gelengan kepala yang tidak berhenti mendengar perilaku pejabat negara menyalahgunakan hak rakyat dalam bentuk korupsi massal mega proyek e-KTP seperti yang dilansir berbagai media akhir-akhir ini.
Suatu negara pasti menganut sistem pemerintahan tertentu. Memilih suatu sistem menyertakan pula berbagai dampak yang mesti dikondisikan dengan sistuasi masyarakat. Tuntutan keberpihakan kepada elemen penegak sistem menjadi pernyataan tegas antara kematangan memilih sistem pada awal mula atau keterdesakan yang melahirkan tindakan-tindakan prematur dalam kealpaan massal akan eksistensi kenegaraan. Ketergesaan memahami dan menjalankan sistem meninggalkan jejak yang menyakitkan: every hurried action brings forth regret and every regret, however small it may be, will hurt the heart.
Analisa ini pada akhirnya merucut kepada negara kita yang berbentuk republik. Kaidah piramidal suatu negara yang menganut sistem republik menggarisbawahi kekuasaan sebagai amanah rakyat. Amanah dengan mudah diterjemahkan sebagai berkat yang terberi karena memiliki kualitas tertentu. Kualitas inilah yang diharapkan menjembatani kehendak rakyat secara umum. Berkat yang terberi karena rakyatlah yang menjadikan mereka menduduki jabatan kepemerintahan. Dalam ranah yang lebih politis ,kepemimpinan para wakil rakyat berproses dalam dinamika kepemilihan yang dinamis. Keterpilihan menjadi pemimpin rakyat mengalami proses penempaan yang cukup melelahkan. Merujuk kepada proses ini dengan berbagai problematika pengangkangan oleh para wakil rakyat seperti kasus korupsi yang meresahkan nurani dan akhirnya menyalahi proses politis yang terjadi. Kekuatiran dalam nada umpatan dan caci maki menjadi reaksi massa di hadapan perilaku pejabat yang sadis (korupsi mega proyek e-KTP).
Res publica sebagai suatu sitem kenegaraan yang mengejawantahkan hal-hal yang sifatnya umum dan menegasi hal-hal yang sifatnya pribadi atau golongan tertentu seperti pengakumulaisan harta kekayaan dari perbendaharaan rakyat. Res Publica (republik) sebagai bentuk pemerintahan menempatkan artikel pertama yakni rakyat kebanyakan sebagai dasar penjelasan. Idealisme ini bukanlah topik dari dunia kayangan, tetaoi penegasan berulang dari sekian anak bangsa yang berada di bawah payung republik ini. Hal-hal yang menyangkut kepentingan rakyat bukanlah isapan jempol belaka. Hujatan dan gelengan kepala adalah eksprsi betapa terlaknatnya kita di bawah naungan republik. Slogan kepentingan rakyat menjadi senjata ampuh beberapa pejabat yang telah menguras kepentingan rakyat dalam bentuk korupsi. Rakyat seolah diperjualbelikan dalam rentetan proses politik.
Res publica (republik) sebagai bentuk pemerintahan mengalami begitu banyak ketimpangan yang sudah, sedang dan mugkin terus terjadi. ketimpangan ini terkristal dalam bentuk sosial, politik, hukum dan lain-lain. Dalam bentuknya yang sangat tajam, ketimpangan itu muncul dalam diri pengemban amanah rakyat.
Korupsi mega proyek E-KTP yang melibatkan beberapa pejabat publik menjadikan saya berkesimoulan bahwa negara kita mentradisiskan penyakit kronis. Penyakit kronis ini telah dilakukan beberapa orang yang telah menyandang gelar kehormatan pemangku kepentingan rakyat. Prilaku sebagian pejabat yang terinfeksi penyakit kronis ini menjadi tatapan dalam kerumunan yang kehilangan identitas. Para pejabat yang memangku kepentingan rakyat berada dalam kerumunan yang mentradisikan pola hidup “menuai di tempat yang tidak pernah mereka tabur.” Kesadaran kerumunan beberapa pejabat yang melakukan tindakan penyalahgunaan hak dan wewenangnya memberi negasi akan dirinya sendiri dalam statusnya sebagai corong rakyat. Soren Kierkegard, seorang filsuf Denmark pernah menulis: kesadaran dalam kerumunan sering membahayakan pergulatan eksistensi seorang individu(pejabat koruptor) yang berada dalam kerumunan (tradisi korupsi)biasanya hilang dan ternegasikan.
Negara republik dengan ketentuan mendasarnya ada pada kepentingan rakyat dan penguasa hanyalah representasi dari rakyat kebanyakan dengan menempatkan kebijakan sebagai konsensus yang melatarbelakangi berbagai keputusana kerakyatan. Dalam nuansa Res Publica, penyelewengan menjadi goncangan yang merongrong kemapanan sistem. Intrik perjuangan kepentingan rakyat terkooptasi dalam buramnya sensasi menumpuk harta kekayaan secara pribadi dalam ruang massal korupsi. Wajah republik tidak mudah teridentifikasi lagi karena memakai topeng yang dirancang kerumunan para koruptor dalam bentuk manipulasi kepentingan rakyat. Korupsi beberapa pejabat dalam mega proyek E-KTP adalah rancangan yang sengaja dibuat dengan labirin yang rumit untuk terhindar dari pendeteksian. Lebih dari pada itu, mega proyek E-KTP menjadi incaran beberapa pejabat dalam perlombaan “jatah” karena kepentingan jabatannya.
Negara Indonesia dengan paradigma kerakyatan memberi ruang bagi beberapa pejabat tertentu memanfaatkan statusnya dan memertinggi harga diri dengan diperlicin oleh penumpukan harta kekayaan rakyat. Rancangan proyek demi rakyat dengan mudah dibuat dalam bentuk laporan fiktif di atas kertas disusul laporan verbal demi menimbulkan kesan bertanggung jawab. Tudingan, tuduhan di antara sesama kerumunan koruptor menjadi lantunan biasa dari aksi reaksi seolah tidak bersalah. Lembaga besar seperti KPK malah tidak luput dari tindakan kriminal beberapa oknum peejabat yang terbukti bersalah. Kriminalisasi terhadap lembaga KPK telah terbukti dalam kasus tertentu beberapa waktu lalu.
Menyaksikan semua ini, benarlah ocehan orang dalam salah satu pertemuan non formal dengan penulis beberapa waktu lalu: inilah republik kita, inilah republik administrasi, inilah republik tipu (tapu), inilah republik yang kehendak rakyatnya dipetieskan oleh para wakilnya sendiri. Apa yang harus dibuat dalam situasi kalap (korupsi pejabat negara) seperti ini. Saya sarankan bentuk repurifikasi baik dalam bentuk personal sehingga memahami drama eksistensi manusia seperti digalakkan Kierkegaard, maupun dalam bentuk repurifikasi hakekat, makna dan kesejarahan sistem sehingga perumahan keindonesiaan tetap nyaman untuk dihuni.
Tinggalkan Komentar