OLEH VINSENSIUS NURDIN
PROLOG
Sman3borong.sch.id-Dinamika manusia tidak dapat dipikirkan dalam ruang kosong. Pemikiran tentang tumbuh kembangnya sejarah manusia akhirnya bersentuhan dengan berbagai problematika hidup yang melingkupinya. Mengapa seperti itu dan tidak seperti ini? Refleksi akhirnya adalah jawaban dari rentetan pertanyaan yang terus menggugah manusia untuk memperdalam dan memberi ciri akan keberadaannya. Di hadapan refleksi inilah, manusia menguak kisah di balik penampakan dirinya yang sadar ataupun tidak memacu adrenalin keingintahuannya. Identifikasi akan keingintahuan inilah awal sebuah kebijaksanaan atau awal sebuah filsafat. Dengan demikian, dalam tataran paling sederhana dengan pertanyaan yang paling sederhana[1] gema filsafat muncul. Setiap orang, siapa pun dia, dengan mengajukan pertanyaan dan memberi jawaban dapat dikatakan berakarakter semi filosofis. Walaupun ada kriteria sahih yang sungguh mencirikan pertanyaan dan jawaban filosofis.
Pemaparan tentang manusia dan dinamika hidupnya menjadi menarik ketika tilikkan itu bermuara pada adanya tegangan antara kenyataan yang sungguh mencirikan manusia (penopang) atau hanya kenyataan yang disertakan dalam hidup manusia, tetapi adanya mutlak atau suatu keniscayaan (tiang penopang). Kerja, sebagai objek kajian di sini, akan melibatkan intrik ini demi menemukan batu tungku nilai kerja bagi hidup manusia. Pelibatan ini tentu berlandas pada kesadaran bagaimana pemaknaan yang manusia berikan terhadap kerja: adakah ia sadar dan merefleksikan nilai kerja ataukah kesadarannya hanya pada rutinitas belaka demi upah tertentu? Apalagi rujukan akan kerja paling banter dilekatkan pada sejumlah upah tertentu. Dengan rujukan ini saja, kerja yang memiliki nilai –katakanlah nilai metafisis transendental- bertubrukan dengan nilai material dalam bentuk upah yang diterima. Di antara lingkaran inilah kita akan mengorbit refleksi ini. Tuntutannya tidak terutama mendukung yang satu dan meninggalkan yang lain, tetapi pada keseimbangan yang mesti mau tidak mau dimainkan dalam memahami nilai kerja. Pemutlakan nilai yang satu akan membuat kita berpandangan picik atau merelativisir yang satunya akan menceburkan kita dalam laut mati kemunafikkan.
NALOG
NARA SUMBER
Awal keberadaan setiap makhluk dalam lintasan sejarah pemikiran tentangnya selalu bertumpu pada evolusi yang sempat terekam dalam dan melalui manipulasi dari kelas terkuat dan bertahan terhadap lingkungan hidunya. Dalamnya ada jejak saling menyingkirkan demi berdiri dan tegaknya yang lain entah secara alamiah maupun usaha sadar dari makhluk tertentu. Penyingkiran ini kita bisa contohkan dalam hal paling sederhana dalam sejarah manusia nomaden.[2] Ketika satu nara sumber tertentu habis dan dengan penghabisan inipun tentunya dalam pengartian menggunakan tanpa perhitungn, manusia nomaden akan pindah dan mencari nara sumber yang baru demi hidupnya. Cara ini terus berlanjut hingga secara sengaja ataupun tidak beralih kehidup menetap dan mulai mengalami keteraturan hidup seperti bertani atau berladang . Bergantung sepenuhnya pada sesuatu yang bukan dirinya bagi manusia sudah berlangsung sejak dahulu kala hinga sekarang . Alam menjadi pijakan dan tumpuan dalam menapaki jejaknya dibumi karena ia bernarasumberkan pada ketergantunganya pada segala sesustu yang telah tersedia di alam. Pengolahan dilakukan dalam alam dan dari sana dihasilkan berbagai hal yang mampu menjamin hidup manusia. Alam adalah nara sumber bagi manusia. Evolusi fisikpun (teori Derwin) merupakan benturan manusia dengan alam hingga menuju homo sapiens.[3]Refleksi abad kuno dan berlanjut hinga paruh abad pertengahan tentang manusia sebagai pusat akhirnya ditingalkan dengan berlandas pada kenyataan bahwa manusia tidak dapat hidup dari dirinya seandiri. Manusia bukan satu-satunya di alam, ia adalah salah satu bagian dari alam. Sejak masa Copernicus, telah terbukti bahwa manusia bukan aspek penting kosmik yang dulunya ia bangga-banggakan kepda dirinya sendiri. Orang yang lalai akan fakta ini tidak berhak menyebut filsafatnya ilmiah.[4] Ia tidak melahirkan dan membesarkan alam, malah secara sederhana terbukti sebalaiknya: teori Derwin bagi saya bisa mengarisbawahi kenyataan bahwa alam sebenarnya melahirkan dan membesarkan manusia. Segala sesuatu berasal dari alam. Manusia bersusu pada alam. Pengrusakkan terhadap alam adalah pelaknatan manusia terhadap narasumbernya dari mana dia berasal.
Dalam ruang di mana manusia hidup ia mengolah segala sesuatu yang melingkupinya. Istilah mengolah bersentuhan dengan caranya dia memberdayakan segala sesuatu demi hidupnya. Di sanalah kata ‘’ kerja’’ hadir bukan dalam pangertian tata bahasa, tetapi dalam pengertian gerak fisik dimana manusia melibatkan seluruh dirinya. Kerja yang adalah pelibatan seluruh diri manusia dipahami pada awalnya sebagai kegiatan utama demi tetap hidup. Teori survival of the fittestCarles Derwin dalam evolusi[5]adalah gerak fisik manusia demi melangsungkan hidupnya. Kerja mendayakan nara sumber yakni alam agar tetap hidup. Pendayaan ini menguras tenaga manusia dan alampun terkuras. Ia menghadapi alam walau dengan tahap-tahap seperti mengambil begitu saja apa yang disediakan alam melalui peroses adaptasi sesuai kebutuhan tubuhnya dan kemudian dalam tahap yang semi matang mengolah lingkungan demi menghidupkan berbagai sumber alam untuk dapat dimakan. Tahap pertama adalah tahap primitif dan yang kedua karena hasil pendayaan potensi diri yang lebih maju, manusia mulai bekerja secara fisik menggarap lingkungan tertentu. Kedua tahap ini merupakan cara kerja manusia demi hidupnya. Nara sumber yakni alam menjadi satu-satunya sarana mentah.
Cara kerja manusia pada tahap awal bersifat statis dan nilai utama yang terekam darinya dapat diduga berafiliasi dengan kekuatan penggeraknya yakni survival of the fittest, dan karenanya berbanding lurus dengan pemikiran tentang materi semata. Pemenuhan kebutuhan hari ini dan sekarang adalah motivator utama kerja manusia dalam tahap paling awal. Sentuhannya dengan lingkungan dialami sebagai cara untuk mempertahankan diri. Nilai kerja bagi individu atau kelompok ada pada pemenuhan kebutuhan hidup.
Cara berpikir manusia yang terus terasah akhirnya berpijak pada bagaimana dia mengalami dan merefleksikan apa yang dia lakukan. Abad pertengahan yang sarat dengan paham antroposentrisnya berkutat dengan menempatkan manusia di pusat kosmos karena dijejali oleh paham agama tentang penguasa alam. Berlanjut pun di abad modern, pada mana, manusia mengagungkan temuannya dalam bidang-bidang teknologi dan informasi yang akhirnya kerja dengan nilainya yang terdepak semakin disudutkan. Dan lebih dari pada itu, dengan meningkatnya tuntutan dan daya saing , manusia mulai memperalat sesamanya. Kerja manusia bukan lagi pada pemenuhan kebutuhan semata, tetapi pada peningkatan hasil sebesar-besarnya demi mempertebal kantung pemilik modal. Peningkatan produksi dalam persaingan global menjadi blue print di balik kerja manusia. Refleksi kita selanjutnya pada dilema pelik ini.
YANG ADA, YANG SEHARUSNYA ATAU KEDUANYA
Pemahaman tentang esensi bagi saya merambat hingga kepada persoalan tentang ‘’yang ada’’ dan’’ yang seharusnya’’. Persentuhan ini mutlak dijelaskan mengingat pernyataan apakah esensi itu berhenti pada penjelasan tentang segala yang ada sejauh mereka ada atau pada penjelasan tentang yang seharusnya, atau yang ada yang seharusnya. Persoalan ini berasal dari pemaparan seorang filsuf Jerman, Immanuel Kant. Dalam pembicaraannya tentang moralitas khususnya Kritk der Praktischen Vernunf (kritik rasio praktis), ia membedakan antara ‘’yang ada’’(das Sein) dan yang seharusnya (das sollen).[6] Segala yang ada sejauh mereka ada berarti menentapkan makna kerja pada efek langsung dari kerja yang kelihatan. Manusia bekerja karena adanya dia demikian . Dia melakukan itu karenatuntutan terberi yang membari dia kondisi demikian. Melangsungkan hidup adalah tuntutan dari adanya saya. Saya mempertanggungjawabkan adanya saya dengan mendayakan potensi dalam diri hingga dapat menjawab kebutuhan dari adanya saya. Demikian juga cara dari ada dari makhluk lainya. Segala sesuatu yang ada menuntut dia untuk bekerja demi mempertahankan adanya. Nampaknya lebel kerja sebagai ‘’yang ada’’ pada setiap makhluk memiliki dasar yang sama. Di satu sisi, kerja sebagai keharusan juga menemui titik jemu yang sulit dirangkai. Saya bekerja karena saya harus bekerja. Siapa yang mengharuskan kita bekerja? Label keharusan dalam bekerja cendrung pada tuntutan dibawah paksaan. Saya harus bekerja supaya saya mendapat sesuatu. Kata ‘’harus’’ berikhtiar paling kurang pada kewajiban semata dan karenanya terkadang dilihat sebagi beban tertentu dan hasil dari pekerjaan itu sendiri tidak memuaskan atau ala kadarnya. Kombinasi dua pemahaman: kerja sebagai yang ada dan yang seharusnya mengarisbawahi pernyataan tegas bahwa nilainya justeru ditemukan pada kesadaran akan adanya kita sebagai makhluk yang lain dari makhluk lainya. Kesadaran sebagai ‘’ada’’ yang berbeda membawa tuntutan internal pada keharusanmempertanggung jawabkan adanya kita. Kerja manusia mendeterminasi dirinya dari ada lainya yang memang seharusnya berbeda. Dalam kerjanya, manusia sungguh memperlihatkan dirinya sebagai ‘’ada yang seharusnya’’ berbeda. Hal ini dikarenakan manusia pada tempat pertama memiliki kemampuan intelek dan ketajaman hati nurani dan dengannya mampu memberi nilai pada kerjanya sendiri, bukan saja pada kenyataan fisik belaka tetapi juga pada kenyataan metafisis.
Kerja sebagi bagian penting hidup manusia turut mencarikan manusia sebagai manusia. Di hadapan segala kenyataan lainya, maka kerja bagi manusia bukan sekedar ditempatkan sebagai keterangan tetapi beridentifikasi denga adanya manusia. Dan lebih dari pada itu, kerja manusia dihadapan sesamanya manusia menyatakan keberbedaannya. Saya membuat satu karya ilmiah. Dalam karya ini secara implisit tersembunyi identitas saya. Dalamnya ada identifikasi diri. Seperti apa dan bagimana saya dalam perbedaan dangan yang lain dapat ditelusuri paling kurangdari karya yang saya hasilkan, kerja dengan demikian mengungkapkan diri mansia. Ia menyatakan sapa dia sebenarnya.
JEMBATAN PEMIKIRAN KONSTRUKTIF
Dalam lintasan sejarah filsafat ada pemikir kaliber yang patut digarisbawahi pemikiranya berhubungan dengan nilai kerja pada manusia. Usaha penjembatanan ini tidak bermaksud mengulang seluruh gagasan para pemikiran itu, tetapi menemukan titik simpul yang konstruktif demi penelaahan ini. Pertama, Hegel. Pemikiran konstruktifnya tentang kerja manusia berasal dari uraianya tentang kesadaran diri manusia. Dalam kesadaran ini ditempatkan dua komponen yakni subyek dan obyek.[7]Manusia sebagai subjek yang sadar bahwa dia bukan sebagai objek. Kesadarankulah yang menempatkan segala sesuatu diluar saya sekaligus mengafirmasi adanya saya sebagai subyek. Dalam kesadaran ini juga ditekankan bahwa ia(kesadaran) tidak merupakan kesadaran kosong. Saya sebagai subyek sadar dalam hubungan dengan sesuatu yang ada di luar saya itulah objek. Dalam usaha inilah si aku membenarkan keakuannya yang berbeda dengan dunia di luarnya. Keberadaanyan ditengah objek-objek membuat dia mengambil langkah dominasi terhadap objek-objek itu. Ia harus menundukan objek-objek itu agar keakuanya dibenarkan. Pembenaran diri si aku dilakukan dengan cara dominasi ini akan menghantar kepada ciri yang berbeda yang bisa dikatakan ‘’ketertentuaanya’’. Dominasi bukan dalam pengertian kehancuran total atau meniadakan objek-objek tetapi memperdaya sehingga kesadaran sebagai subjek menjadi jelas. Pembenaran terhadap diri sebagai subjek bukan dengan peniadaan/penghancuran total objek-objek. Dengan kesadaran subjek-objek ini, tibalah kita pada paham Hegel tentang “kerja” pada manusia. Manusia yang menyadari diri sebagai subjek mengambil langkah memperdaya objek hingga menjadi objek tertentu. Dengan memperdaya alam, mengerjakan sesuatu dari objek, manusia menjadikan objek itu sesuai dengan kebutuhan dan keinginan manusia. Dan dengan cara yang sama, ia menyatakan siapa dirinya dalam pemberdayaan terhadap objek (alam). Objek yang telah “dikerjakan” oleh manusia mendapat ciri baru baik menghilangkan keterasingan objek dengan penampakan barunya oleh pemberdayaan manusia, maupun penampakan baru itu menunjuk kepada setiap orang siapa dan bagaimana pembuatnya. Dengan demikian, dengan bekerja manusia menunjukkan kepada dirinya sendiri dan dunia siapa dia sebenarnya. Keperibadiaannya ditampakkan dalam hasil pemberdayaannya terhadap objek-objek. [8] Dalam telaah selanjutnya, Hegel berpendapat bahwa keperibadian yang ditunjukkan manusia dalam dan dengan kerjanya sekaligus menentukan dan menunjukkan siapa dirinya. Walaupun dalam titik penentuan diri inilah manusia mengalami penderitaan tertentu, karena banyak peluang lainnya terpaksa dikudung karena keterpaksaan subjek atau objek. Singkatnya, bagi Hegel, dengan bekerja manusia dapat menunjukkan dirinya kepada dunia, siapa dia sebenarnya. Kedua, Marx. Dalam alur yang sama, Marx menempatkan pekerjaan dalam garis yang sama seperti Hegel yakni manusia nyata apabila ia mengobjekkan diri ke dalam dunia.[9] Salah satu yang perlu ditekankan oleh Marx dari pekerjaan manusia adalah pada nilai futurologis-historis. Nilai dari kerja manusia terbukti bahwa dengan kerjanya manusia mempersiapkan ruang yang tertentu kepada generasi berikutnya. Manuisa tidak saja bekerja demi dirinya dalam generasinya hic et nunc (di sini dan sekarang ini), tetapi ruang yang dikerjakan manusia sekarang adalahjuga persiapan bagi keturunannya di kemudian hari. Dengan demikian bagi saya, Marx menempatkan dalam kerja manusia nilai tidak langsung dari kerjanya. Penemuan diri manusia dengan kerjanya dalam alam sekaligus mempersiapkan alam yang diberdayakan itu kepada generasi berikutnya. Contohnya, kita sekarang dilingkungi oleh alat-alat tekhnologi. Semua yang ada sekarang sebenarnya telah diadakan/dipersiapkan oleh generasi pendahulu, baik potensi (ide-ide) maupun aktualitasnya (alat-alat/hasil fisik). Generasi sekarang tinggal memperdaya yang telah ada baik dengan meneruskannya maupun memodifikasinya sesuai tuntutan. Teori ekonomi Marx, hemat saya, berasal dari anggapan ini. Pemilikan modal dalam teori Marx berafiliasi dengan keperihatinan akan para pekerja yang justeru termarginalisasi dalam suatu perusahaan. Nilai pekerjaan manusia tidak dinikmati oleh pekerja sendiri secara langsung tetapi oleh mekanisme upah tertentu. Paham alienasi manusia dalam kerjanya terjadi justeru karena manipulasi nilai kerja pada upah tertentu dengan berbagai problematikanya. Bukan sesuatu yang buruk, tetapi upah secara kasar sekali mengubah manusia menjadi pekerja amatir. Ideal pemberdayaan objek-objek alam demi penentuan/pernyataan diri manusia menjadi kabur. Karena hasil pekerjaannya tidak menunjukkan siapa dia, tetapi seberapa besar waktu dan dengan demikian upah harus seimbang. Kerja yang dinilai dengan upah sungguh meredusir nilai kerja manusia. Dengan teralienasinya manusia dari kerjanya sendiri meniadakan realisasi diri dan otonomi manusia sendiri, karena modal berperan dalam kerja manusia.[10]
Hingga sekarang kita sudah mewarisi pemikiran konstruktif tentang kerja manusia baik dari Hegel maupun Karl Marx. Simpulan sementara dari dua pemikir ini adalah penempatan manusia sebagai pribadi yang utuh dalam kerjanya. Nilai kerja juteru ditempatkan dalam kerangka bukan fisis semata seperti mengisi perut atau upah, tetapi juga pada nilai metafisis yakni manusia merealisasikan dirinya dari pekerjaannya. Unsur humaniora[11]dari kerja manusia ditempatkan terutama bagi tumbuh dan berkembangnya apresiasi terhadap kerja manusia.
PUSARAN REFLEKSI
Bersama mari kita meracik inti dari masalah kerja yang coba diangkat di sini. Pada bagian terdahulu nampak ada rentetan penjelasan yang bagi penulis adalah ikhtiar awal untuk tiba pada uraian akademis dalam ranah lipatan filosofis. Tegangan penopang dan yang ditopang dari nilai kerja manusia bersentuhan dengan masalah metafisis esensi dan eksistensi. Masalah esensi dan eksistensi dalam metafisika sudah lama digandrungi para filsuf sejak dahulu kala. Esensi mendeterminasi suatu barang hingga terbedakan dari barang lainnya. Dia adalah apa yang membuat suatu (barang) menjadi macam barang tertentu, yang menjadikan barang itu berbeda dari barang yang lain.[12]Dengan demikian kerja sebagai esensi manusia menunjukkan bahwa dengan dan melaluinya manusia menjadi tertentu. Manusia mendapat predikat tertentu. Kerja menentukan manusia. Dan itu berarti dalam hubungan dengan makhluk pada umumnya, kerja manusia menegaskan perbedaannya dan dalam hubungan dengan sesama makhluk, kerja seorang manusia menegaskan keberlainannya/keunikkannya. Kerja sekali lagi memperlihatkan ciri khas seseorang dari yang lainnya. Sedangkan eksistensi kerja pada manusia mau menunjukkan bahwa manusia menjadi nyata dalam adanya. Ia adalah suatu yang riil pada setiap barang.[13]Kerja sebagai sesuatu yang riil pada manusia adalah penegasan dari pertanyaan mengapa kerja manusia menjadi sesuatu yang riil. Dengan kata lain eksistensi kerja manusia secara metafisis adalah hal dasar dalam menjadikan manusia sebagai manusia. Di sini tidak dipertentangkan mana yang dahulu esensi atau eksistensi. Paduan pemahaman keduanya akan membentuk titik simpul yang komprehensif bahwa kerja manusia menyatakan adanya yang sekaligus ketertentuannya. Antara esensi dan eksistensi kerja manusia diandaikan seperti penopang dan yang ditopang. Keduanya adalah sebelah menyebelah dari mata uang yang satu dan sama.
Dengan memahami sedikit peristilahan di atas, kita dengan mudah masuk ke dalam pengenalan yang pasti dari nilai kerja manusia. Pemberdayaan potensi khusus manusia dalam kerjanya menyatakan karakter tertentu dan dengan memberi penegasan akan keberadaan sekaligus keberbedaannya baik dengan makhluk pada umumnyamaupun sesama manusia pada khususnya. Dengan dan melalui kerjanya, mausia memproklamirkan dirinya sebagai yang memiliki keunikan dan tidak ada kopianyan kapan dan dimanapun. Idealisme nili kerja ini patut untuk terus diperdengarkan mengingt maraknya pereduksian terhadap nilai kerja manusia. Perendahan nilai kerja manusia yang sebatas pada yang legalis-untuk perut, untuk upah, untuk ketenaran, untuk mendominasi dunia, dan lain sebagainya-adalah bagian dari kelamnya paham-paham manusia akan nilai kerja yang dilakukanya. Nilai kerja yang bersifat formal pada gilirannya akan menciptakan kelas-kelas persaingan dengan yang tidak sehat dan akirnya memperalat manusia demimencapai tujuanya. Berbagai industri didirikan dimana-mana. Sistem ekonomi yang tidak berpihak dan berpijak pada pengapresiasian manusia dengan dan mulai kerjanya akan gampang menyulut dan menyerap masalah kemanusiaan mondial yang lebih parah. Erich Fromm mengagaskan dan menggemakan suatu sistim industri yang berpijak dan berpihak pada kehidupan sosial manusia. Dalam industrialisme sosialis tujuan sistem adalah bukan untuk mencapai hasil produksi ekonomi setinggi-tingginya, melainkan untuk mencapai ‘’produktivitas’’ manusiawi setingi-tingginya. Hal ini berarti bahwa kegiatan yang untuknya manusia menghabiskan paling banyak energi yakni kerja dan…harus penuh arti dan minatnya. Ia harus merangsang dan menolomg mengembangkan semua daya manusiawinya-kemampuan otaknya, daya emosionalnya,….[14]
Nilai kerja manusia dewasa ini sarat dengan ketimpangan. Bagi saya ini juga disebabkan oleh terlalu cepatnya dinamika IPTEK yang pada galibnya belum siap dinakohdai manusia. Penciptaan alat-alat teknologi yang awalnya hanya sebagai pelancar dan pembantu manusia, akhirnya beralih fungsi-dengan metode kecepatan,keakarutan, kepraktisan-meninggalkan peran manusia dan dengannya nilai dari kerja mnusia tergantung pada seberapa besar kenampuanya mengontrol alat-alat teknologi itu. Penciptaan alat teknologi bukan lagi pada peranyan sebagai penolong, malah menyodok manusia ke sudut paling gelap dunia. Alat teknologi diciptakan bukan lagi untuk memenuhi kebutuhan manusia, tetapi diciptakan sedemikian rupa sehingga dibutuhkan. [15]Kebutuhan manusia dipaksakan oleh kehadiran alat-alat teknologi. Nilai kerja manusia beridentifikasi dengan kemampuan yang dipaksakan itu meng-up date alat-alat tekhnologi. Penyempitan makna ini berdampak pada rusaknya hubungan manusia baik dengan manusia baik dengan dirinya sendiri maupun dengan orang lain. Kesadaran manusia moderen akan nilai kerja yang dilakukanya telah dilapisi oleh pola pikir instan. Opus manuale (pekerjaan tangan) manusia akirnya diganti oleh tangan-tangan mesin. Pergantian ini sebenarnya tidak menandaskan secara mutlak segi negatif, tapi berpengaruh pada caranya manusia menilai kerja manusia secara keseluruhan. Kita bisa menguji lapisan kesadaran manusia akan hasil kerjanya: letakan dihadapan orang banyak dua buah meja; yang satunya kerja tangan manusia dan yang lainya kerja mesin. Bandingkan kualitasnya.Dengan contoh sederhana ini saja dan anda pasti lebih memilih-untuk tidak dikatakan terjebak-hasil buatan mesin. Bukan pula dengan itu, kita membuang alat-alat bantu dari teknologi, karena bagimanapun semua alat itu juga adalah hasil dari kerja manusia. Tetapi pemutlakan pada alat dan merelativisir kerja tangan manusia akan menampilkan wajah suram kemanusiaan. Tesis yang mau diajukan di sini adalah kerja manusia menampilkan identitas manusia dalam keseimbangan dengan faktor-faktor ekstern baik sebagai upah maupun pemenuhan kebutuhan hidup. Dengan pemahaman yang matang akan nilai kerja, kita akhirnya tidak terjebak dalam mengerjakan sesuatu seperti seorang amatir/ pengemar sambil lalu, asal buat dan intrik kepalsuan lainya.
EPILOG
Keseimbangan dalam menilai kerja baik aspek fisik maupun metafisis akan menciptakan kestabilan dalam hidup. Pemikiran konstruktif tentang nilai kerja manusia terus menerus dipertebal agar lapisan epitemik manusia semakin dikokohkan dan dengan demikian tercapailah manusia yang sehat baik jasmani maupun rohaninya. Perendahan martabat manusia salah satu faktornya dipicu oleh ketidakseimbangan terhadap penilaian terhadap kerja manusia. Ekonomi hanyalah satu dari banyak bentuk penindasan dan ketidaksetaraan pada manusia.[16] Yang ditopang bukanlah sesuatu yang boleh ada boleh tidak. Ia bersama penopang menjadikan sesuatu kokoh. Demikianlah kiranya memandang nilai kerja pada manusia. Yang metafisis dan yang fisis bagai dua sisi mata uang yang adanya harus selalu saling mengandaikan. Sebagai rampungan dari ulasan saya ini, alangkah lebih bijaksana menguraikan tiga dimensi kerja manusia. [17]Pertama, dimensi personal. Di sini ditekankan bahwa dengan kerjanya manusia dapat mewujudkan cita-citanya sendiri, baik pengembangan kualitas pribadi maupun melanjutkan hidupnya demi masa depan. Kedua, dimensi sosial. Di sini ditekankan bahwa dengan kerjanya manusia dapat memupuk hidup bersama dalam perjumpaan dengan yang lain. Ruang kerja manusia selalu terjalin dengan lingkungan sosial. Martin Heidegger menyatakan keharusan hidup bersama orang lain. [18]ketiga, dimensi etis. Di sini ditekankan bahwa dengan kerjanya manusia menunjukkan nilai kebaikkan, baik bagi dirinya sendiri maupun orang lain. Dimensi ini bahkan menjadi parameter terhadap dua dimensi sebelumnya.
[1] Bdk. Adelbert Snijders, Seluas Segala Kenyataan, Yogyakarta: Kanisius, 2009, hlm. 1-7
[2] Dunia nomaden adalah suatu bentuk hidup manusia yang ditandai dengan tiadanya tempat tinggal menetap atau selalu berpindah-pindah. Penyelidikan sejarah membuktikan bahwa perpindahan/perubahan tempat tinggal terutama karena faktor penyediaan bahan makanan. Jika di suatu tempat bahan makanan dari alam habis, maka mereka akan pergi mencari tempat lain yang masih tersedia. Selain itu, faktor keamanan (misalnya binatang buas atau perubahan cuaca). Kata nomad dalam bahasa Inggris merupakan turunan dari kata Latin nomas yang berarti pengembara.
[3] Dalam masa para-sejara berdasarkan penelitian ahli-ahli sejarah, ditemukan adanya tahap evolusi manusia dari yang sederhana hingga menuju seperti manusia sekarang ini. Istilah sejarahwan seperti manusia yang berasal primata (kera). Peralihan dari homo erectus ke homo sapiens-dari manusia yang bentuk fisiknya dan cara kerja otaknya seperti kera ke manusia dekarang yang bentuk fisiknya dan otaknya dikatakan sempurna.
[4]Bertrand Russel, History Of Western Philosophy And Its Connection With Political And Social Circumstances From The Earliest Times To The Present Day, london: LTD.,1946,Pp. 1025-1026
[5] Bdk. Lorens Bagus, Kamus Filsafat,Jakarta: Gramedia, 2005, hlm. 223; lihat juga Adelbert Snijders, Antropologi Filsafat: Manusia-Paradoks dan Seruan, Yogyakarta: Kanisius, 2004,hlm. 177. Bdk. Jga Ali Mudhofir, ka,us Filsuf barat, Yogyakarta: pustaka belajar (Angota IKAPI), 2001, ham.115 atau Ali Mudhofir,Kamus Istilah Filsafat, Liberti Yogyakarta, 1992,hlm. 152
[6]Untuk pembahasan ini secara lengkap lihat: Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Yogyakrta: Kanisius, 1980, hlm. 80; juga dalam F. Budi Hardiman, Filsafat Modern: Dari Machiavlli Sampai Nietzsche, Jakarta: Gramedia, 2004, hlm. 145. Juga sebagai sumber pembanding dalam Narbertus Jegalus, Hukum Kata Kerja: Diskrusus Filsafat Tentang Hukum Progresif, Jakarta: Obor, 2011, hlm. 20-21
[7]Bdk. Frans Magnis-Susno, Pijar-Pijar Filsafat: Dari Gotholoco ke Filsafat Perempuan, dari Adam Mueller ke Postmodernisme, yogyakarta: Kanisius, 2005, ham. 108-111
[8] Bdk. Ibid., hlm. 114-115.
[9] Bdk. Frans Magnis-Suseno, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, Yogyakarta: Kanisius, 1992, hlm. 136-137.
[10] Bdk. Jon Elester, An Introduction to Karl Marx, Cambridge, England, 1986, Pp. 59-80.
[11] Kata humaniora merupakan suatu istilah penting sejak abad XVI. Kata humaniora berasal daari kata humanus yang merupakan bentuk sifat darikata homo yang berarti manusia. Unsur humaniora dalam kerja manusia berarti dengan kerjanya manusia memanusiawikan dirinya. Atau dalam bahasa Hegel dan Marx: dengan kerjanya manusia menyatakan dirinya kepada dirinya sendiri dan kepada dunia. Kerja mendeterminasi diri manusia.
[12] Norbertus Jegalus, Metafisika Dasar Dalam Tradisi Aristoteles-Thomistik (Manuskript/bahan kuliah), Fakultas Filsafat Agama Universitas Katolik Widya Mandira Kupang, 2009, hlm. 41. Bdk. Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia, 2005, hlm. 215-216.
[13]Ibid., hlm. 43. Bdk. Lorens Bagus, Kamus Fiksafat, Jakarta: Gramedia, 2005, hlm. 183-185.
[14] E. From, Humanist Sosialism, In: On Disobedience and Other Essays , New York, The Seabury Press, 1981,Pp.77-78
[15]Bdk. Frans Magnis-Suseno, 12 tokoh Etika Abad ke-20, Yogyakarta: Kanisius, 2000, ham. 219;lihat dan bdk. Juga otto Gusti Madung, politik: antara Legalitas dan Moralitas, Maumere: Ledaero, 2009,hlm. 16. Frans Magnis-Suseno menggunakan term produksi dan Otto Gusti Madung menggunakan term ekonomi, sementara
penulis disini menggunakan term teknologi. Sebetulnya ketiga istilah ini bukanlah kesenjangan, tetapi ketiga term dapat dipahami dalam kesatuan makna dalam konteks kalimat yang diacunya. Hasil produksi merupakan regulasi ekonomi dan menciptakan teknologi tentu ataupun teknologi tentu bisa menciptakan sistem ekonomi tentu yang mengasilkan produk tentu pula .
[16]Bdk. Bhikhu Parekh, Rethingking Multiculturalisme: Keberagaman Budaya dan Teori Politik (penterjemah: Bambang Kukuh Adi), Yogyakarta: Kanisius, 2008, hlm. 478.
[17] Lihat ulasan lebih lengkap tentang ini dalam: Kasdin Sihotang, Filsafat Manusia: Upaya Membangkitkan Humanisme, Yogyakarta: Kanisius, 2009, hlm. 151-155.
[18] Bdk. Martin Heidegger, Being and Time (Translated by John Macquerrie & Edward Robinson), Basil Blackwell, Oxford, 1993, P. 78
Tinggalkan Komentar