Vinsensius Nurdin (SMAN 3 BORONG)
Dalam peredaran waktu, kita menemukan berbagai hal yang menunjuk kepada adanya geliat rasional manusia dalam menemukan formasi atau rumusan yang lebih baik dalam mendandani kehidupan. Di setiap lini kehidupan, kita menemukan beberapa hal yang dalam artian tertentu dapat ditakar dalam kuantitas dan dalam artian lainnya dapat diditaksir dalam bentuk kualitas tertentu. Beberapa bentuk perimbangan yang ada adalah bagian dari caranya manusia menemukan cara yang lebih baik dalam melayani gejolak rasional manusia yang beraaneka ragam. Quot capita, tot sensus/banyak kepala, banyak pikiran bukanlah sekadar paraleliseme belaka tatkala berbagai bentuk cara hidup dilakoni secara berbeda oleh makhluk manusia karena didorong oleh instrument yang sama yakni akal budinya. Perubahan demi perubahan yang ada meyakinkan kita bahwa hingga detik ini keberadaan makhluk di atas desa global yang disebut planet ini adalah suatu keniscayaan.
Formasi perubahan dalam setiap lini kehidupan tidak dimaksudkan untuk direfleksikan di sini. Niat saya adalah nuansa yang kini terus mencari formatnya dan saya beranggapan bahwa pencarian ini bukanlah demi suatu rumusan yang sekali jadi, sekali pakai untuk selamanya dalam dunia pendidikan kita. Pendidikan sebagai salah satu batu tunggu peradaban anak-anak bangsa secara terus menerus beradaptasi dengan berbagai tuntutan. Kemendesakan untuk berdinamika dalam proses berpendidikan diyakini sebagai satu di antara sekian pencapaian yang harus tetap dijalankan demi peradaban manusia yang humanis. Hal terakhir ini melalui skema peradabam manusia yang humanis mendapat tekanan utama karena pada galibnya pendidikan mesti beroperasi dalam menunjukan manusia yang manusiawi.
Paradigma manusia yang manusiawi mendapat perhatian utama beberapa dekade lalu dalam dunia pendidikan kita dengan mencoba menarasikannya dalam bentuk literasi kata humaniora.[1] Kata humaniora merupakan suatu istilah penting sejak abad XVI. Kata humaniora berasal dari kata humanus yang merupakan bentuk sifat dari kata homo yang berarti manusia. Humaniora berarti keseluruhan unsur dalam pendidikan yang mencerminkan keutuhan manusia dan membantu agar manusia lebih manusiawi (Mardiatmaja, 1986,hal.107) .Penelusuran kata ini bagi saya penting untuk melihat keterhubungan antara makna etimologisnya dan makna aksiologisnya. Kata homo yang diyakini membentuk kata humanus yang berarti manusia sangat dekat afiliasinya dengan kata humus yang berarti pupuk. Idealisme dari pengertian kata ini menyadarkan kita akan kewajiban fundamental kita sebagai manusia yang dari adanya selalu mengandaikan keterhubungan dalam kesalingan untuk menyuburkan kehidupan. Makhluk yang namanya manusia secara eksistensial saling menyuburkan kehidupan. Manusia adalah pupuk yang menyuburkan kehidupan. Makhluk yang tampak secara fisik dan bernama manusia itu meminjam ulasan Y. B. MANGUN WIJAYA dalam kata pengantar edisi bahasa Indonesia untuk buku HOMO LUDENS: FUNGSI DAN HAKEKAT PERMAINAN DALAM BUDAYA karangan Johan Huinzinga bahwa kata manusia dalam bahasa Indonesia selaras dengan kata Jawa manungsa yang datang dari kata sangskrit manusya. Manusya berafiliasi dengan kata mannah yang berarti pikiran, jiwa, makna, intelek, persepsi dan seterusnya( hal. xiv). Keberasalan kata manusia sendiri telah menunjuk kepada keistimewahan dan keunikannya di tengah makhluk lainnya di atas jagat raya ini. Potensi kemanusiaan yang ditunjuk oleh kata manusia sendiri telah menempatkannya sebagai pembeda khusus yang memberinya keistimewahan di antara para makhluk lainnya. Semua kualitas yang timbul sebagai akibat keanggotaan sebagai makluk dalam spesias manusia menyiratkan potensi yang harus dinyatakan dalam kehidupan. Manusia berpendidikan melalui pola lakunya dapat menjadi aktualitas nyata dari eksistensinya.
Dengan menilik arti kata manusia dalam ulasan ini, maka menjadi mugkin bagi kita untuk berpikir bahwasannya kandungan makna kata dalam pengertian etimologis tidak menginginkan lagi embel-embel lain karena sudah terkandung secara memadai dalam adanya. Manusia berpendidikan berarti mengendapkan paham akan pemberdayaannya. Memberdayaakan manusia melalui proses pendidikan berarti menggarisbawahi kenyataan akan usaha sadar demi menegaskan kenyataan dari adanya manusia sebagai manusia. Hal ini sangat beralasan karena pendidikan telah mampu mentransendensikan manusia dari sekedar ‘berada sebagai manusia ’(esensi) menjadi mampu ‘mengada sebagai manusia’(ekistensi).[2] Pendidikan yang diorganisir dalam salah satu lembaga resmi dengan berbagai daya upaya pemutahiran sarana, cara dan atau metode sehingga paling kurang mendekati tujuan keberadaannya sebagai manusia yang memiliki instrument khusus sekaligus istimewah di antara makhluk hidup yang ada di atas planet kita ini yakni perangkat rasional atau akal budi. Kenyataan ini penting untuk terus dikampanyekan sehingga manusia dapat memertanggungjawabkan adanya dan berani berjibaku dalam kehidupan nyata setiap hari. Manusia berpendidikan adalah manusia yang tidak pernah merasa puas dengan capaian yang diperoleh, tetapi terus menggerus hingga ke kedalaman esensi dan ekistensi manusia sebagai manusia. Ini jugalah yang boleh dikatakan sebagai kekuatan yang memberi ciri akan keberadaan manusia dibandingkan dengan keberadaan makhluk lainnya. Manusia berpendidikan menjadi panorama penuh dalam lintasan peradaban makhluk, sebagai mozaik dalam khazanah peradaban dan pemberdayaan.
SUKMA PENDIDIKAN
Dalam sejarah peradaban manusia, ditemukan berbagai jejak yang menjadi cikal bakal teridentifikasinya pemberontakan intelektual manusia dalam beberapa segi kehidupan. Jejak-jejak primitif yang coba digali akan menjadi bahan diskursus dan membentuk paham yang menjangkau kedalaman niat manusia dalam memberdayakan dirinya. Pemberdayaan yang diawali dengan hal yang paling sederhana dalam pola-pola keseharian tetapi menunjuk langsung kepada lingkaran utuh pendidikan akan memberi kita peluang untuk berpikir tentang proses yang sudah terjadi hingga saat ini. Perjuangan makhluk manusia dalam memberdayakan dirinya terus mengalami kemajuan dalam segi-segi yang cukup kompleks dan meliputi keanekaragaman cara dan sarana yang ada.
Salah satu hal yang berhasil terendus dari adanya niat mulia demi pemberdayaan manusia ada dalam salah satu instansi yang manusia bentuk yakni pendidikan. Secara sekilas akan tampak bagi kita tentunya bahwa pada skala ini kita tidak berpretensi menjejaki setiap intrik di setiap peradaban yang menjadi cikal bakal peradaban manusia melalui pendidikan. Peradaban primitif hingga peradaban yang kita alami saat ini apapun itu namanya memberi kita identitas tertentu akan beberapa usaha sadar demi pemberdayaan manusia. Beberapa waktu lalu sangat santer itu dinamakan usaha memanusiakan manusia. Lingkaran ulasan ini mengerujut pada sukma pendidikan. Apa kiranya yang menjadi fundamen dasar dari pembentukan manusia dengan memberdayakannya melalui proses pendidikan?
Ulasan pertanyaan dan pernyataan retoris di atas akan membawa kita pada usaha mendalami arti pendidikan. Untuk usaha semacam ini biasanya orang akan mulai dengan penelusuran etimologi kata. Konsep yang terkandung dalam kata pendidkan sebenarnya adalah terjemahan dari bahasa Inggris educate. Dalam kamus Funk & Wagnals Standard Desk Dictonary kata educate dijelaskan dengan sangat bagus yakni To develop or train the mind, capabilities, or character of by instruction or study; teach. Dengan penjelasan leksikal ini saja paham pendidikan bertindih tepat kepada kegiatan mengembangkan atau melatih pikiran, kemampuan dan karakter manusia secara total. Penjelasan etimologis ternyata harus ditambah dengan menggali hingga menemukan akar dari kata kerja educate yang merupakan kata yang diambil dari bahasa latin dari e yang berarti keluar dan ducere yang berarti memimpin, menuntun. Konsep pemuliaan manusia sangat tajam dari akar kata bahasa latin dalam term pendidikan. Jadi educare bisa diartikan sebagai usaha pemuliaan. Kata educare memberi arah kepada pemuliaan atau pembentukan manusia (J. Drost, SJ,1997,hal.25). Dengan penjelasan leksikal /etimologis dari kata pendidikan, teranglah tujuan utama dari proses pendidikan yakni memanusiakan manusia. Pendidikan telah memainkan peran besar bagi identitas manusia sebagai manusia. Hal ini pulalah yang telah menggarisbawahi pernyataan yang tepat sasar ketika manusia dilihat tidak saja sebagai makhluk berakal budi/animal rationale, tetapi hakekatnya yang berproses dalam pendidikan dan dia berpredikat sebagai makhluk yang terdidik/animal educandum. Proses pelibatan seluruh diri manusia telah lama mendapat perhatian berbagai pihak yang atensi utamanya ada pada terawatnya jiwa manusia sehingga dapat memertanggungjawabkan kemanuisaannya. Pendidikan sebagai proses merawat jiwa sangat ditekankan dalam refleksi para filsuf terutama Plato.[3]
Pengalaman kehidupan manusia dalam kebersamaan dengan berbagai keanekaragamannya telah menuntun manusia sendiri untuk mengorganisir kelompoknya demi saling memahami, demi saling menjaga marwah kemanusiaan pada umumnya. Tingkatan perkembangan pola organisasi hingga membentuk lembaga pendidikan seperti sekarang ini telah meyakinkan kita bahwa pemberdayaan manusia melalui proses pendidikan adalah suatu keharusan. Saya dan anda tidak dapat melukiskan gambaran dari kenyataan yang mengambang jika mengandaikan pendidikan tidak dilaksanakan. Apa jadinya komunitas manusia tanpa pendikan juga tidak dapat dinarasikan.
Pendidikan telah berperan penting dalam menata kehidupan manuisa di dunia ini. Semua capaian yang manusia raih sampai saat ini diakui sebagai salah satu dari sekian hal yang manusia peroleh karena berproses dalam dunia pendidikan. Jiwa dari pendidikan telah menggerakan manusia untuk memajukan kehidupan. Betapa luar biasanya hasil yang diperoleh karena berasal dari pemberdayaan manusia dalam pendidikan. Pemberdayaan manusia melalui pendidikan telah mengejahwantahkan kenyataan manusia sebagai makhluk rasional yang terus berkreasi dalam capaian-capaian yang ada. Kompleksitas cara yang dilalui dalam pemberdayaan manusia melalui pendidikan seperti yang kita alami hingga saat ini adalah usaha yang tidak akan berhenti demi mendekatkan manusia pada entitasnya sebagai animal rationale/binatang berakal budi.
Sukma pendidikan menyatakan dengan lugas selain penguatan esensi dan eksistensi manusia, tetapi juga memberi daya pembeda di antara binatang pada umumnya. Manusia yang berpendidikan adalah manusia yang menyatakan kepada dunia bahwa dia memiliki tujuan mulia dalam keberadaannya. Pendidikan yang mampu menerbitkan “rasa marah” terhadap kejahatan, kerakusan, kekerasan yang ada di tengah kehidupan.[4] Kesadaran akan kenyataan ini menguatkan cara kita berpikir bahwa lembaga pendidikan yang bertugas mengelola pemberdayaan manusia haruslah benar-benar dipersiapkan secara matang dan saksama. Idealisme pendidikan sebagaimana terurai dari sukmanya demi memanusiakan manusia dalam tata kelola melalui lembaga-lembaga pendidikan seyogyanya terhindar dari lingkaran bisnis politis. Masuknya nuansa bisnis melalui pengelolaan jual beli pasaran akan berakibat buruk pada dapat terukurnya nilai dari suatu lembaga pendidikan melalui takaran-takaran ekonomis tertentu. Mereka adalah sekrup fungsional bagi mekanika otomat yang telah dirancang dan jauh di bagian hulunya bertengger sang perancangnya yang tak jarang adalah kekuatan ekonomi besar.[5]
Gagasan mulia yang menjadi fondasi dari bangunan kokoh pendidikan harus terus diupayakan penafsirannya dalam cara-cara yang katakan me-revitalisasi atau me-reformasi pemberlakuannya dalam skala pembaharuan yang selaras zaman. Ini jugalah yang melatarbelakangi beberapa perubahan kurikulum pendidikan di negara kita. Gonta-ganti kurikulum dengan kesan seolah beriringan dengan pergantian Mantri Pendidikan bermuasal pada adanya elemen dasar ini yakni dinamika manusia yang senantiasa berpacu dengan sesuatu yang baru. Adaptasi yang dinamis ini menjadi cikal bakal dari adanya perlombaan cara kerja demi mendekatkan diri kepada sesuatu yang selaras zaman. Paradigma Tempora mutantur et nos mutamur in illis[6] kiranya menjadi pengkristalan dari cara kita berpikir dan bertindak dalam berbagai perubahan yang ada termasuk juga dalam hal membarui kinerja pemberdayaan manusia dalam pendidikan. Proyek besar dengan gagasan luar biasa dalam pendidikan dari waktu ke waktu menghantar kita kepada pemikiran konstruktif akan perubahan kurikulum pendidikan kita. Inilah ajang yang luar biasa pada mana kita disodorkan dengan tawaran menggiurkan sehingga terus menggemakan nada perubahan demi pemberdayaan manusia. Pemberdayaan dalam dinamika perubahan manusia melalui pendidikan menjadi wahana humanisme ilmiah.
P5 (PROJEK PENGUATAN PROFIL PELAJAR PANCASILA)
Salah satu di antara sekian reaksi yang ditimbulkan karena adanya paradigma baru dalam dunia pendidikan adalah terlahirnya beberapa istilah baru yang dapat merujuk kepada nuansa yang mesti menjiwai keseluruhan proses yang ada. Paradigma baru berarti dalam kerangka lama ada instrumen yang baru atau diperbarui demi tercapainya tutntutan pendidikan per hari ini. Semua insan yang berada di balik layar pendidikan pasti sadar bahwa format baru kita dalam kurikulum merdeka yang diyakini mampu menjawab tututan zaman tetap berada dalam sukma pendidikan pada umumnya yakni memberdayakan manusia tetapi dalam cangkang Pancasila sebagai rumah unik yang merawat penghuni anak bangsa di Negara Kesatuan Republik Indonesia ini. Keistimewahan sekaligus keunuikan cangkang Pancasila ini disadari akan dapat merawat peradaban anak bangsa di tengah geliat zaman yang terus berubah.
Gagasan sekolah penggerak dalam kerangka kurikulum merdeka sebagaimana hari ini dijalankan oleh pendidikan kita mengedepankan dan mengalihkan perhatian utama kita pada peradaban manusia yang manusiawi. Penunjang untuk program nasional ini beruratakar dalam menghidupkan kembali keistimewahan kita dengan menjadikan Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa. Saya teringat akan kerangka pemikiran ini dari pemikiran salah seorang pendiri bangsa Soekarno dalam pidatonya pada sidang Zyunbi Tyoosakai 1 Juni 1945: “Menurut anggapan saya yang diminta oleh Paduka Tuan Ketua yang mulia ialah dalam bahasa Belanda ‘Philosofische gronslag’ dari pada Indonesia Merdeka. ‘Philosofische grondslag’itu adalah pundamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia Merdeka yang kekal dan abadi.”[7] Refleksi tentang Pancasila sebagai basis idiologi dan identitas bangsa adalah sungguh sangat urgen apalagi pernyataan lugas melalui kerikulum merdeka yang mengembalikan jiwa pendidikan kita pada sukamanya. Suka pendidikan kita sejak awal menempatkan Pancasila sebagai cangkang sehingga kebhinekaan kita dapat dihidupi.[8] Mengaktualisasikan nilai-nilai Pancasila tak bukan tak lain adalah kesediaan untuk saling menerima dalam kekhasan masing-masing, jadi kesediaan untuk saling menghormati dan mendukung kemajemukan bangsa dan untuk senantiasa menata kehidupan bangsa Indonesia secara inklusif.[9]
Nomen Clatur dari re-formasi baru dunia pendidikan sekarang ini ada dalam term teknis yang coba diketengahkan dan menjiwai kerangka dasar kurikulum merdeka. Program kurikulum merdeka sebagaimana tersurat dalam proyek penguatan profil pelajar Pancasila adalah usaha sadar dari para pencinta kebijaksanaan ilmu pengetahuan dalam pendidikan kita untuk menghentakan para penghuni rumah ke-Indonesia-an akan marwahnya sebagaimana diajarkan secara terus menerus melalui pembelajaran Pancasila sebagai dasar Negara dan pandangan hidup bangsa. Sebagai suatu idiologi, maka Pancasila memiliki tiga unsure pokok agar dapat menarik loyalitas dari pendukungnya yaitu: 1)logos yaitu rasionalitas atau penalarannya, 2) pathos yaitu penghayatannya dan 3) ethos yaitu kesusilaannya (Wibisono, 1996:3).Menghidupkan kembali nilai kebijaksanaan yang Pancasilais dalam kurikulum merdeka sebagaimana menjadi program nasional kita dalam lembaga pendidikan patut diacungi jempol dan harus dirayakan dalam kebersamaan sebagai bangsa. Betapa tidak, kerinduan untuk menjadikan Pancasila sebagaimana posisi yang seharusnya dalam sanubari penghuni bangsa semenjak awal adalah ikhtiar mulia yang tidak sekadar dikampanyekan dalam retorika verbalisme, tetapi langsung menyata dalam caranya anak-anak bangsa yang beradab. Manusia Indonesia yang beradab bermuasal pada rahimnya yakni Pancasila yang memberi dinamika unik kepada anak-anak bangsa dalam bertutur dan dalam bertindak. Pencarian akan identitas pendidikan manusia yang Pancasilais akan dapat terurai dalam beberapa segi kehidupan yang unik dan istimewah di tengah manusia lainnya di atas planet ini. Manusia Indonesia yang berpendidikan tidak pernah merasa puas diri dengan pencapaian akademik semata dengan takaran penilaian di atas kertas, tetapi jauh melampaui itu terintergrasi secara tidak terpisahkan dengan peri hidup setiap hari. Apa gunanya pengetahuan baru kalau tidak mengarah pada perilaku baru?[10] Menitikberatkan pada pencapaian akumulasi ilmu pengetahuan akan menciptakan manusia robot yang lihai dalam mengulang huruf-huruf dan gagal total mengadaptasikan dirinya kedalam kebijaksanaan hidup. Banyak kaum pengumpul ilmu pengetahuan menjadi orang gagal dalam moralitas kehidupan. Saya teringat akan ulasan yang luar biasa dalam Koran Suara pembaruan[11] dalam data yang bagi saya mencengangkan karena kaum terdidik yang minus nurani dengan data yang berhasil dikumpulkan KPK bahwa dari 600 tersangka korupsi, sebagian besar memiliki latar belakang pendidikan yang tinggi (ada 200 tersangka bertitel S2 dan ada 40 tersangka bergelar S3). Sebegitu burukkah paradigma berpendidikan kita dengan melihat kenyataan seperti ini? Siapakah yang harus disalahkan? Dimanakah kampanye pendidikan yang katanya mampu memertajam kepekaan nurani manusia?
Data yang mengherankan seperti ini akan banyak kita temui dalam keseharian hidup. Kesenjangan intelektual dan moralitas kaum terdidik akan menjadi penelusuran akademis yang cukup legit dalam diskursus pendidikan pada umumnya. Gema PMP (PENDIDIKAN MORAL PANCASILA) dalam pendidikan kita semakin tersingkir dan bahkan kehilangan mukanya sama sekali. Tampang manusia berilmu terus mengisi skala kuantitatif dalam topeng berpendidikan yang semakin sulit terbedakan. Manusia berpendidikan dengan idelisme dalam skala kualitatif semakin hari semakin tidak tampak karena dikerudung dalam balutan zaman yang menuntut latah sosial dalam keseragaman cara berpikir dan bertindak. Dengan gugatan yang menakjubkan melalui data-data yang sulit dipercaya mengundang kita untuk merefleksikan peran dan fungsi pendidikan pada umumnya dan pendidikan Indonesia secara khusus. Pada tempatnyalah kita mengacungi jempol terhadap usaha yang luar biasa dari beberapa kalangan di Negara kita yang mencoba dalam skala nasional untuk menginterpretasi cara kita berpendidikan melalui program sekolah penggerak. Kerangka kurukulum merdeka yang pemerintah canangkan adalah salah satu bagian dari cara mengembalikan marwah pendidikan kita pada cangkangnya yakni Pancasila.
Proyek penguatan profil pelajar Pancasila adalah salah satu term teknis dalam kurikulum merdeka yang harus merasuki keseluruhan proses pendidikan dalam skop sekolah penggerak. Terminus technicus ini kalau diselisik secara saksama akan mengendap beberapa lapisan paham yang menjadi kunci akan nuansa pendidikan Indonesia di era kita saat ini. Proyek penguatan profil pelajar Pancasila adalah pintu masuk menuju kepada eksistensi pendidikan Indonesia dengan menjadikan Pancasila sebagai biang keladi kesadaran manusia yang manusiawi. Manusia yang beradap melalui proses penempaan dalam lembaga pendidikan Indonesia dengan dinamika sekolah penggerak mengembalikan marwahnya yang berasal dari Pancasila sebagai Philosopishe Grondslag sebagaimana yang ditegaskan Soekarno pada sidang Zyunbi Tyoosakai 1 Juni 1945. Usaha rekonstruksi dan dekonstruksi tekstual dan konseptual terhadap Pancasila sebagai Philosofische Grondslag dari Indonesia merdeka telah menyingkapkan suatu kenyataan bahwa nilai-nilai luhur yang terkandung dalamnya nerupakan kristalisasi dari pelbagai nilai yang dijunjung tinggi oleh pelbagai agama dan kebudayaan yang dan berkembang di Indonesia.[12]
Landasan yang coba dikeruk kembali karena lama tertimbun oleh mata rantai sosial-politis menjadi tawaran wajib bagi peserta didik dalam nuansa kurikulum merdeka untuk kembali menata pembudayaan hidup melalui Pancasila. Proses pemberdayaan manusia dalam pendidikan sekolah penggerak bukanlah suatu ajaran baru atau hasil permenungan akademis yang baru sama sekali. UUD 1945 menetapkan tujuan pendidkan nasional bukanlah semata-mata mentransfer ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi lebih dari itu adalah mentransfer nilai-nilai luhur bangsa, menanamkan semangat kebangsaan, menanamkan identitas bangsa, dan melestarikan dan mengembangkan budaya bangsa terutama pada pendidikan dasar dan menengah.[13] Dengan landasan inilah kita meyakini bahwa tugas mencerdaskan kehidupan bangsa berasal dari kelekatan hubungannya dengan identitas asali kita sebagai bangsa dalam NKRI. Setiap warga Negara yang menempa kehidupannya dalam pendidikan harus merasa terpanggil untuk menggali nilai kesejarahan kita. Nilai-nilai kebijaksanaan arkaik akan ditemukan pada tumpuan sejarah kita hingga membentuk identitas dengan menjadikan Pancasila sebagai profil kebangsaan. Pancasila akan menjadi pajangan museum dan habis sebagai materi hafalan saja, kalau nilai asalinya tidak menjadi identitas kita bersama sebagai bangsa. Para pendidik dan peserta didik saling membahu dalam mengentaskan kemiskinan jati diri karena kelalaian menamilkan jati diri yang pancasilais. Ada resiprositas antara Pancasila sebagai profil yang memberi bentuk kepada identiatas kita sebagai bangsa dan manusia sebagai subjek otonom. Pancasila tidak hanya lahir di bawah sebuah pohon, tetapi pohon itu memberikan rasa aman kepada orang yang duduk di bawahnya. Sebagai sebuah pohon, Pancasila membutuhkan air untuk bertumbuh dan menghasilkan buah.[14] Para penghuni dan pemilik kedaulatan NKRI adalah orang-orang yang dimintai kewajiban hakikinya untuk memberi tanpa henti air kehidupan sehingga Pancasila dapat terus eksis di tengah pergulatan zaman. Air kehidupan yang dimaksud di sini adalah pola pikir dan pola tindak yang beridentifikasi secara tidak terpisahkan dengan nilai-nilai arkaik Pancasila.
Tawaran dalam kurikulum merdeka: merdeka belajar dan merdeka mengajar sebagaimana terus menggema dan menggeliat dalam pusaran dunia pendidikan sekarang ini telah berusaha mengembalikan marwah ke-Indonesia-an kita melalui proyek penguatan profil pelajar Pancasila. Pendidikan kita telah kembali kepada batu tungku keberadaannya yakni Pancasila yang mewajibkan kita untuk menata hidup yang berproses melalui pendidikan dengan menggali nilai-nilai fundamentalnya sehingga dapat terus menjadi identitas kita. Saya teringat akan salah satu proyek sederhana sebagaimana pernah dilakukan dalam sekolah rakyat Pancasila beberapa waktu lalu pada mana tokoh seperti Rm. Mangunwijaya tidak pernah lekang dalam ingatan. Proyek ini kalau mau digali secara saksama dan telaten akan ditemukan identitas yang terus diusahakan dalam kurikulum sekolah penggerak saat ini.[15] Ada kesinambungan paham yang memberi kita kekuatan bahwasannya semua ini (sekolah rakyat Pancasila dan sekolah penggerak) adalah instrument yang digunakan demi membentuk keperibadian anak-anak bangsa yang Pancasilais. Penguatan profil pelajar Pancasila menjadi jaminan abadi dari usaha kita menata keseluruhan proses sehingga terang-nyata dalam pola hidup manusia Indonesia. Cita-cita Mencerdaskan Kehidupan Bangsa sebagaimana termaktup dalam Pembukaan UUD 1945 dan menjadi salah satu tujuan pembentukan NKRI bukanlah sekadar retorika belaka, bukanlah term tekhnis penawar fatamorgana manusia. Mencerdaskan akan dengan mudah diinterpretasi dalam keseimbagan otak dan peri laku. Praktek baik sebagaimana dimodulasi dalam kurikulum sekolah penggerak adalah pengimplementasian dari usaha merekatkan seluruh insan penghuni NKRI dengan rahimnya yakni Pancasila. Praktek baik proyek penguatanprofil pelajar Pancasila di SMAN 3 BORONG sungguh sangat terasa dalam keanekaragaman metode penerapan. Satu di anatar sekian proyek penguatan itu telah dilakuakan pada Senin 11-4-2022 dan berhasil menjuarai karya tulis ilmiah tingkat Kabupaten Manggarai Timur dengan menjadikan learning by project melalui proses PERBANDINGAN TEPUNG JAGUNG (Zea Mays Var. Amylaceas) DAN GARAM (NACL) SEBAGAI PENGAWETAN DAGING BABI (LEMAK).
Di bawah bimbingan guru hebat Ibu Maria Rice Nursanti,S.P.d dan Ibu Yasinta Loda, S.Pd, seorang siswi atas nama EUGENIA LESTARI MULIATI mempraktekan hal baik dengan berhasil meracik bumbu pengawet daging babi. Bagian dari visi praktek baik penguatan profil pelajar Pancasila adalah menjadi salah satu bukti dari komitmen pemberdayaan manusia dalam lembaga pendidikan SMAN 3 BORONG yang langsung merambah kehidupan nyata peserta didik dan menciptakan peluang baru dalam usaha kuliner/bisnis.
Gagasan hebat dari praktek baik seperti ini terus dilakukan sehingga lembaga pemberdayaan manusia tidak hanya cukup diri dengan kemampuan yang ditaksir lewat nilai di atas kertas saja, tetapi menyentuh langsung pada apa yang harus dibuat/dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Saya teringat juga dengan salah satu penekanan yang luar biasa dalam prinsip-prinsip belajar aktif dalam kurikulum berbasis kompetensi (KBK) 2004 yakni Learn to do.
Sebagai simpulan dari ulasan sederhana ini perkenanlan saya menulis kembali ungkapan hati Dorothy Law Notle sebagaimana dikutip J. Drost, SJ (J. Drost, 1998, hal. 20-22) yang menghentakan nadi kesadaran kita dalam memahami konteks yang berproses melalui pendidikan. Ada aroma penguatan karakter manusia dalam rentetan puisi ini dan menjembatani usaha sadar manusia dalam memberdayakan hidup melalui pendidikan.
Jika seorang anak hidup dalam suasana penuh kritik, ia belajar untuk menyalahkan
Jika seorang anak hidup dalam permusuhan, ia belajar untuk berkelahi
Jika seorang anak hidup dalam ketakutan, ia belajar untuk gelisah
Jika seorang anak hidup dalam belas kasihan diri, ia belajar untuk memaafkan dirinya sendiri
Jika seorang anak hidup dalam ejekan, ia belajar untuk merasa malu
Jika seorang anak hidup dalam kecemburuan, ia belajar bagaimana iri hati
Jika seorang anak hidup dalam jiwa besar, ia belajar untuk percaya diri
Jika seorang anak hidupnya terima apa adanya, ia belajar untuk mencintai
Jika seorang anak hidup dalam suasana rukun, ia belajar untuk mencintai dirinya sendiri
Jika seorang anak hidup dalam suasana adil, ia belajar akan kemurahan hati
Jika seorang anak hidup dalam kejujuran dan sportivitas, ia belajar akan kebenaran dan keadilan
Jika seorang anak hidup penuh persahabatan, ia belajar bahwa dunia ini merupakan tempat yang indah untuk hidup.
Jika kamu hidup dalam ketentraman, anak-anakmu hidup dalam ketenangan batin
[1] Penjabaran dari istilah humaniora dapat dijelaskan lagi yakni dalam proses pendidikan pengembangan pikiran dan hati harus menjadi satu kesatuan yang tidak akan pernah boleh dipisahkan. Kekuatan intelek (pikiran) manusia memang dapat dikembangkan secara maksimal (tertinggi), akan tetapi perkembangan itu hanya akan menjadi optimal (terbaik) kalau hati dapat diteguhkan dan terarah kepada yang baik.
[2] Marianus Mantovanny Tapung, S. Fil.,M.Pd, Dialektika Filsafat Dan Pendidikan. Penguatan filosofis atas konsep dan praksis pendidikan, Jakarta: Parresia Institute, 2013, hal.v
[3] Bdk. A. Setyo Wibowo, Paideia: Filsafat pendidikan-politik Platon, Kanisius: Yogyakarta, 2017, hal. 51-94.
[4] Rm. Max Regus Pr, MA, Prolog: Pendidikan sebagai Basis Civilisasi dalam Marianus Mantovanny Tapung, S. Fil.,M.Pd, Dialektika Filsafat Dan Pendidikan. Penguatan filosofis atas konsep dan praksis pendidikan Op.Cit.,hal.xvii
[5] Slamet Sutrisno, Perguruan Tinggi dan Pendidikan Intelektual,Majalah Kebudayaan Umum(Basis) Juli-1994-XLIII NO.7, hlm.271
[6] Pribahasa Latin ini secara bebas dapat diartikan Zaman berubah dan kitapun berubah di dalamnya (bdk. Arti pribahasa ini dalam kumpulan pribahasa Latin sebagaimana dikerjakan oleh P.Alo Mitan, SVD hal.72)
[7] Diambil dari pidato Soekarno berjudul “Lahirnya Pancasila”, dalam Soekarno, Pancasila sebagai Dasar Negara, Jakarta: Inti Idayu Press, 1986, hlm. 133
[8] Bdk. Prof. Dr. Kaelan, m.s.,Pendidikan Pancasila, Yogyakarta, Paradigma, Edisi Reformasi 2016, hal.255-264
[9] Frans Magnis-Suseno, Mewujudkan Masyarakat Pancasila menuntut mensukseskan Demokrasi(Peretmuan Dialog Kerukunan Umat Beragama Tingkat Nasional, Kupang, 29 September 2011), Makalah hal.3
[10] Yuval Noah Harari, Homo Deus: Masa Depan Umat Manusia, Ciputat: PT. Pustaka Alvabet, 2018, hal. 65
[11] Suara Pembaruan (Selasa, 26 November 2016) mencantumkan salah satu artikelnya berjudul korupsi para intelektual dalam beberapa sub judul yang membuat kita terperangah seperti di hal.2:Kalangan Terdidik terjerat Sistem Yang Korup. Hal.3:Hedonistik dorong kaum Terdidik Lakukan Korupsi. Hal.12:Judul Editorial:Korupsi Kalangan Intelektual.
[12] Dr. Philipus Tule, SVD, Menelusuri Jejak Bung Karno:Rekonstruksi & Dekonstruksi Falsafah Pancasila Dari perspektif Agama dan Budaya, (Peretmuan Dialog Kerukunan Umat Beragama Tingkat Nasional, Kupang, 29 September 2011), Makalah hal.10.
[13] Sofian Efendi, Reposisi pendidikan nasional dalam Negara Minus Nurani. Esai-Esai Kritis Kebijakan Publik (Forum Mangunwijaya 111), Jakarta, Penerbit Buku Kompas, Februari 2009, hal.153.
[14] Soter Dino, SVD, Christianity and Pancasila Partners of Dialog for Building A More Human Society In Indonesia, Romae 1997, hal.2
[15] Bdk. A. ferry T Indratno, Menghidupkan Pendidikan Pemerdekaan dalam Negara Minus Nurani. Op.Cit., hal.122-127
Tinggalkan Komentar