Oleh : Johannes P.P.A Calas, S.Pd. Gr
Sman3borong.sch.id- Salah satu poin penting dari beberapa agenda global tentang pembangunan berkelanjutan adalah krisis iklim yang mana isu ini sudah tembus sampai ke segala penjuru dunia,bahkan sudah mengancam semua sektor. Tidak sedikit yang mengetahui ancaman itu,namun, aksi-aksi penyelamatan masih berada di titik nol. Aksi penyelamatan atau kesadaran akan muncul seringkali suatu peristiwa sudah memakan korban.
Pertanyaan mendasar terkait hal ini adalah apakah sikap kepedulian kita selalu muncul setelah peristiwa itu terjadi ? Ataukah sebaliknya,kita lebih mengedepankan sikap preventif agar keadaan hari ini tidak semakin memburuk untuk keberlangsungan generasi kita selanjutnya? Kita pasti menolak jika saja bencana selalu mengepung kita,tapi bagian yang paling radikal dari refleksi kita bisa saja alam lagi menormalkan kembali keadaan dengan peristiwa-peristiwa yang ada.
Menyikapi krisis iklim saat ini ,global butuh kerja-kerja kolaborasi,sambil mereposisi cara pandang yang antroposentis ke ekosentris. Harapannya kedudukan manusia sebagai makhluk yang paling istimewa di muka bumi segera berakhir dan membangun suatu kesetaraan, memberikan status moral untuk setiap makhluk dan komponen abiotik di luar manusia. Tentu ini bukan pekerjaan muda yang bisa diselesaikan dalam satu atau dua tahun kedepan.
Kita masih punya banyak harapan dan kesempatan untuk menata ulang hubungan antara manusia dan alam yang sudah semakin terbelah. Melalui gerakan-gerakan kecil di lingkungan sekitar, kampanye gagasan dan forum akademik tentu bisa menuntun keberlanjutan kehidupan di muka bumi menjadi lebih baik.
Sekolah sebagai agen tranformasi perubahan menjadi tempat yang strategis untuk memutuskan mata rantai krisis iklim. Melalui pengembangan program kurikuler, ekstrakurikuler dan kookurikuler dapat mencegah sikap apatis dan sikap arogansi siswa terhadap lingkungan, serta tumbuhnya kesadaran akan kesetaraan hidup antara manusia dan ciptaan Tuhan lainnya.
Gerakan penyelamatan lingkungan di setiap satuan pendidikan sebetulnya sudah lama muncul, hanya saja belum menjadi isu-isu strategis untuk dikemas dalam muatan pembelajaran, sehingga terkesan gerakan ini adalah bagian dari gerakan opsional yang bisa dilakukan kapan saja,tanpa menjadikan sebagai suatu kewajiban.
Di beberapa tempat sudah ada yang merespon isu-isu lingkungan masuk dalam kegiatan akademik sekolah,salah satunya Seminari Pius XII Kisol yang saat ini sedang melaksanakan festival lembah Sanpio bekerja sama dengan Yayasan KEHATI, sala satu agenda penting dalam kegiatan ini adalah pelatihan jurnalistik tentang isu-isu lingkungan.
Kegiatan yang berlangsung selama lima hari itu dihadiri oleh beberapa sekolah terdekat,baik dari jenjang SMP sampai SMA. Siswa siswi dilatih Bagaimana meliput berita, menyusun berita dan sampai pada publikasi tentang isu-isu lingkungan yang dipandu oleh kedua narasumber,Kaka Markus Makur dan Rossi Hadir. Harapannya,melalui kegiatan ini mereka bisa menjadi agen penggerak dan penyelamatan lingkungan di satuan pendidikan masing-masing dan masyarakat.
Modesta Dukenng, salah satu peserta kegiatan yang juga siswa dari SMA Negeri 3 Borong di sela -sela kegiatan menyampaikan beberapa praktek baiknya selama kegiatan berlangsung. Modesta Dukenng juga menyampaikan pentingnya kelompok-kelompok ekolitarisi di setiap sekolah sebagai wadah persemaian gagasan.Sebab baginya, kedudukan manusia sebagai makhluk yang paling istimewa saat ini seharusnya segera berakhir dengan mengedepankan prinsip kesetaraan untuk masa depan lingkungan.
Dengan adanya prinsip itu,maka kehadiran manusia dan makhluk hidup lainnya sama sama sebagai subjek, sehingga tidak ada salah satu bagian di luar manusia yang bisa dieksploitasi seenaknya oleh manusia.Tentu prinsip ini akan menjadi bermutu jika kesadaran kolektif terus menggaung di forum -forum diskusi dan aksi-aksi lapangan.
Semoga dengan adanya kegiatan ini bisa membawa angin segar akan pentingnya bersikap adil untuk generasi setelah kita nanti.
Tinggalkan Komentar