KETERLANJURAN MASSAL
Sman3borong.sch.id– ketidaksesatan yang menyesatkan akan tampak dalam beberapa situasi dan kondisi yang kadang luput dari perhatian kita. Semuanya berjalan baik sebagaimana yang telah dilakukan para pendahulu. Saat ini kita hanya meneruskan apa yang sudah sejak lama dipraktekkan oleh para pendahulu kita. Tanpa pertanyaan atau suatu ruang guggatan. Ketika dicoba dipertanyakan sebagai kesangsian personal dan dicoba dilontarkan mesti dianggap berdosa atau melanggar ketentuan sebagaimana yang telah ditetapkan. Kebungkeman massal ini terus merambah ke setiap situasi yang menjadi bagian dari rutinitas manusia sesuai dengan penetapan tradisi. Ruang diskusi untuk menemukan titik simpul dianggap suatu penyelewengan dan dibayangi kemurkaan magis dari suatu kekuatan yang dianggap mampu menciderai kemantapan. Berbagai ultimatum terus menjejal rubrik tanya para pewacana dengan retorika tanpa akhir. Pencapaian tingkat rasional manusia kembali jatuh ke titik paling parah, ketika segala sesuatu dinggap baik adanya karena telah berhasil membuat sangkarnya sendiri dan mengerami tradisi tanpa tanya. Teater tanpa tanya, panggung tanpa kesangsian massal terus mencuat di permukaan yang tampaknya karena keseringan dilakukan atau dialami dianggap baik-baik saja dan bahkan diperkuat dengan jargon “jangan cari masalah”.
Padanan dari kemelut ini menganaktanahkan keberlangsungan segala sesuatu dengan menempatkan label negatif kepada mereka yang berani meneriakkan kemapanan dan tidak saja berhenti pada pelabelan yang pesimistik, tetapi mendepak mereka dari ruang publik. Fenomena kemunafikan massal ini enggan untuk beranjak dari kemapanannya dan menguarai kisah yang tidak cukup mudah disejajarkan. Ruang publik yang terus memberi jaminan akan penyelewengan sosial akan dialami sebagai bagaian dari proses mental demi pendewasaan manusia. Biarkan ini terjadi karena harus demikian adanya. Kita bukanlah siapa-siapa di sini. Lebih baik diam karena di dalamnya apa saja yang dialami akan beradaptasi dengan keadaan kita dan dianggap suatu kewajaran semata. Dalam praktek meditasi ketika anda berusaha duduk tetapi otot-otot di tubuhmu menunjukan ketidaknyamanannya, biarkan saja karena dalam ketahanan rasa sakit itu keseluruhan tubuhmu akan memberi reakasi adaptasi terhadap keadaan yang baru. Begini pulalah kiranya tatkala menghadapi suatu kewajaran dalam lingkungan kita. Kita akan memberi jedah sebentar dan akan berlalu dalam proses pengadaptasian dengan selera di ruang massal yang secara keseluruhan mengamini situasi yang demikian
KONTROVERSI
Kita pasti ingat dengan jelas beberapa bentuk ujaran ilmu pengetahuan yang sadar ataupun tidak dianggap suatu nilai kemanusiaan dan itu berarti keberlakuannya diakui. Ujaran eufemistik itu salah satunya berbunyi mengutamakan kepentingan umum, di atas kepentingan pribadi/golongan. Amanat pemuliaan nilai kemanusiaan ini tampaknya merujuk kepada berlakunya pola pikir dan pola tindakan di tengah khalayak yang seragam. Pengabdian buta ini diperparah dengan julukan pembangkang ketika seorang individu berpola pikir beda dan bertindak berlainan dengan orientasi secara keseluruhan. Bahkan dalam tataran yang lebih serius akan dilakukan pengusiran secara fisik dan penghindaran secara psikologis. Demi menghindari kejadian seperti ini, seorang individu dibawah paksaan massal secara membabi buta mengikuti saja kehendak publik dan terus berperilaku seperti katak yang berada di bawah tempurung. Suaranya terdengar dan orang-orang yang mendengarnya tahu bahwa itu adalah suara katak dan orang-orangpun tahu bahwa katak itu berada dibawah cengkraman sosial karena tertutup di bawah tekanan massal. Demikian pulalah kiranya situasi kita ketika kita terus berorintasi pada kenyataan sosial yang terpaksa dianggap baik-baik saja meski disadari berada di bawah tempurung sosial.
Frase mengutamakan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi/golongan secara terang benderang mengamanatkan keseragaman pola hidup. Beberapa orang berpikir itulah satu-satunya cara membuka gembok keharmonisan dalam kerumunan massal. Saya masih ingat beberapa tahun lalu saya menulis opini di surat kabar pos kupang Selasa 21 Maret 2017 di kolom opini dengan judul tulisan RES PUBLICA. Dalam opini ini saya menyinggung pendapat filsuf Denmark Soren Kierkegard tentang bahaya kesadaran palsu dalam kerumunan massa. Sang filsuf menulis: kesadaran dalam kerumunan sering membahayakan pergulatan eksistensi seseorang. Tepat pada gejala inilah yang dialami ketika membiarkan segala sesuatu berjalan sebagaimana adanya mesti menyisahkan tanya yang tidak terjawab kerena digrebek oleh kerumunan massa dalam keseragaman buta.
Dalam pembelaan moral terutama berasal dari pedoman pengajaran tradisi, frase mengutamakan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi/golongan bertujuan untuk menghindarkan diri dari kemelut sosial karena kuatir akan keterpecahan. Orang yang mementingkan kepentingan diri dalam program GBHN dituduh melakukan makar kepada kepentingan umum dan itu berarti menjadi pemicu konflik sosial. Perbenturan kepentingan ini harus dihindari demi keharmonisan sosial, sehingga niat saja akan dituduh sebagai pelaku kejahatan. Bayangkan saja buruknya pertimbangan rasional kita yang berasal dari mufakat keutamaan kepentingan umum. Setiap bentuk pola pikir dan pola tindakan personal yang berbenturan dengan kehendak umum akan disupahserapahi, akan dilaknat dengan ujaran-ujaran yang mengerdilkan potensi personal. Saya sesunggunya tidak membelakangi keharmonisan sebagai cita-cita bersama dalam kehidupan. Ini merupakan tujuan dari kebersamaan. Yang menjadi gugatan saya adalah ketika cita-cita keharmonisan itu justeru diperlicin dengan mengudung keanekaragaman individu. Keanakaragaman individu dengan kepentingannya yang bervariatif akan menjadi kekuatan yang tidak mudah dipatahkan ketika dikelola secara matang dalam kebersamaan. Setiap individu adalah unik. Keunikan ini harus diberdayakan, harus diberi ruang sehingga semuanya memiliki peran di atas panggung kehidupan.
Dilema moral dalam frase mengutamakan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi/ golongan adalah salah satu di antara sekian hafalan yang perlu diperbincangkan, perlu dipertajam. Tujuan utamanya adalah demi pemahaman yang akurat dan tidak hanya melabelkannya pada urutan pembelajaran dalam kehidupan sosial. Akan ada banyak ceritera moral yang mau tidak mau bermunculan di atas idiologi kepentingan sebagaimana terkuak dalam frase ini. Betapa mengerikan ketika kita berusaha menjodohkan kepentingan umum dan kepentingan pribadi dalam pertalian demi keharmonisan. Konon pertautan sejenis ini akan dimenangkan lagi-lagi oleh kerumunan yang memangkas keunikan individu. Adilkah itu?
Ketika saya menulis kisah ini, terngiang dalam ingatan saya akan beberapa ujaran yang secara serampangan memberi pengadilan pada salah satu situasi yang digandrungi kekinian. Salah satu ujaran itu berbunyi demikian: tidak ada gunanya menulis dan membaca pada saat ini karena semua orang lebih menyukai suatu gerak yang dimodivikasi sedemikian rupa sehingga semakin elok dipertontonkan. Orientasi kekinian lebih mulia berhubungan dengan benda mati ketimbang perjumpaan dan diskusi wajah ke wajah. Kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi berperan besar dalam mengalihkan perhatian makhluk manusia. Idaman perjumpaan individu, wajah ke wajah, perasaan persentuhan fisis berubah derastis karena tergantikan secara memukau dengan perjumpaan tanpa efek kejut secara fisik. Padahal keadaan ini pernah dikuatirkan memperlemah hubungan manusia dan ini tergambar dalam ujaran orang Jerman erscheinung kann nicht berȕhrung kȕrzen/penglihatan tidak dapat memendekkan persentuhan.
Kita semua mengalami suatu “situasi antara”. Dalamnya kita sadar bahwa situasi yang demikian terjadi dan kita menjadi pelaku dan saksi bisu. “situasi antara”yang dimaksud di sini adalah ketika kita dengan jelas dan tahu persis suatu kesesatan tertentu tetapi tersesat karena disesatkan oleh pola tradisi yang menyesatkan. Inilah ketidaksesatan yang menyesatkan. Saya tidak ingin masuk ke situasi kongkret dalam hal ini. Kita semua pernah berada di dalamnya. Ada-ada saja hal yang membatasi ruang kita untuk bergerak entah itu ketakutan kehilangan kemapanan maupun kemelut sosial demi kemaslahatan banyak orang. Kebungkeman individu karena tersekap oleh situasi dan kondisi sosial telah berurat akar dalam kerumunan ras manusia.
Tinggalkan Komentar