YOHANES P.P.A. CALAS, S.P.d
Guru sosiologi SMAN 3 BORONG
Setelah berselancar selama 90 menit lamanya di pembelajaran Paradigma Sosiologi, banyak aktivitas tanya jawab yang muncul dan membuat ruang kelas saat itu benar-benar bermartabat dan fungsi ruang kelas sebagai tempat produksi gagasan begitu kelihatan.Satu persatu jawaban saya cicil mengingat limit waktu yang begitu sempit setelah bel istirahat berbunyi.Kalau boleh saya katakan, peristiwa hari itu adalah “pasar Gagasan”. banyak transaksi ide saat itu.
Rantai percakapan intelektual yang biasanya berhenti saat bel istirahat berdering berubah seketika.Tidak dihiraukan oleh mereka dan percakapanpun lanjut sampai di luar ruangan. Dugaan saya semakin kuat, bahwa ini adalah reaksi rasional yang membara yang sudah sepantasnya kita apresiasi. saya pun pulang dengan membawa setumpuk pertanyaan tentang pendemi covid-19.Dinamika yang terjadi siang itu benar benar tidak seperti biasanya.
Kecenderungan mereka untuk menjadi manusia yang merdeka bukan hanya terjadi saat hari itu. Di beberapa kesempatan sebelumnya sudah mulai menunjukan gejala positif itu muncul.Setelah banyak godaan literatur yang kami berikan ternyata berhasil mempengaruhi cara mereka berpikir bagaimana sekolah itu sebenarnya.
Euforia yang muncul adalah bonus dari kerja-kerja kecil yang dijalankan selama ini. Bila ukuran klasik menempatkan hasil sebagai dasar dari gerakan belajar, mungkin ada baiknya juga kita menempatkan proses sebagai esensi dari belajar itu sendiri.Hasil yang baik belum tentu datang dari proses yang baik.Tapi proses yang baik membuahkan hasil yang baik.Jadi, belajar menghargai proses sudah sedang mereka lakukan saat ini.
Masyarakat Intelektual.
Masyarakat intelektual adalah masyarakat yang berpikir kritis, visioner dan progresif. Kemunculan masyarakat ini melalui proses adaptasi yang “sempurna” yang bermigrasi dari tahap-tahap yang tradisional.ini sejalan dengan hukum perkembangan akal budi manusia(teologis,metafiis dan positivis) sebagaima yang di sebut oleh Comte mengenai masa positivis sebagai masa-masa peradaban berpikir.
Tentang hak sebuah tindakan rasional untuk menempati posisi terdepan di lingkungan Sekolah adalah hal yang wajar,yang tidak wajar adalah keseringan mengaktifkan tindakan tradisional.Bukan berarti menghilangkan esensi tindakan tradisional, namun kadarnya perlu dikurangi sebanyak mungkin dan lebih sering disuguhkan asupan ilmu pengetahuan demi menjaga marwah sekolah sebagai salah satu ruang produksi masyarakat ilmiah.
Soal malu yang menjadi “penyakit” dalam dunia belajar tidak bisa ditoleransi untuk untuk hidup berdampingan dengan mereka yang punya dedikasi tinggi dalam belajar. Karena, kita tidak mendapatkan apa apa dari hal itu. Tantangan awal kami saat merangkul mereka justru ada pada titik ini. Saya bersama teman teman CGP lainnya sering memberikan pengakuan akan potensi diri yang mereka miliki, ini adalah trik untuk membunuh rasa malu pada mereka.
Saya menaruh rasa percaya diri yang begitu besar akan dampak baik ini, bahwasannya komunitas Praktisi yang dirintis oleh beberapa teman teman Calon Guru Penggerak di sekolah sukses mengangkat Isu literasi sebagai satu satunya isu yang paling seksi di sekolah. Sehingga kami tergerak untuk membongkar jalur sepi literasi menjadi jalur yang ramai dalam lingkungan sekolah,Karena itu wajib.
Bertarung melawan gelapnya literasi dengan lilitan keterbatasan bukanlah pekerjaan muda bagi saya dan beberapa teman teman CGP lainnya. Minimnya akses literatur, keterbatasan sarana dan prasarana, serta intensitas kehadiran anggota kelompok dampingan yang fluktuatif, bahkan yang lebih menentang lagi bagaimana merintis dari titik nol. Membangkitkan rasa cinta mereka terhadap budaya litersai. Ini benar benar mendesak kami harus bekerja extra ordinary.
Aktivitas membaca,menulis dan lingkaran diskusi yang terus terjadi semacam menjadi suatu indikator kecil bagi saya dan beberapa rekan CGP lainnya,bahwa berperang melawan kelumpuan gerakan akademik sudah hampir mencapai garis finis. Saya jamin, ruang dan sudut yaang sering menjadi tempat langganannya sepi di sekolah, sedikit demi sedikit tidak akan kami temukan lagi di hari hari selanjutnya.
Kebiasaa positif ini harus di bombardir terus. Dinamika iklim belajar tidak semata mata menunjukan ke arah yang progres, bisa jadi mengalami kemunduran jika terlena.Kedua energi (Positif -Negatif) yang secara alami muncul dalam disi setiap siswa terus bergesekan, sehingga siswa menjadi objek yang rentan, menjadi seperi apakah nantinya, tergantung siapa pemenangnya. Dan akhirnya sampai pada titik ini, saya bersama teman CGP lainnya sedikit legah, bahwa gerakan literasi berhasi membangun pagar yang begitu kuat dalam membatasi peluang masuknya energi negatif.
Kolaborasi yang begitu solid lintas disiplin ilmu telah memperkaya sudut pandang kelompok dampingan kami. Ditambah dengan naluri gerakan bapak Retno Pihatno dan Wilibrodus Barus yang sudah melampaui garis usia yang muda, sungguh luar biasa.Pengetahuan-pengetahuan segar dari mereka tidak ada satupun yang digenggam, semuanya diberikan.
Di hari hari tertentu ada sesi debat. saya meyakini ini adalah panggung istimewa bagi mereka. saling mengukur kekuatan argumentasi dan berani berbicara atas data, bukan opini. kecurigaan saya mengapa setiap kali berdebat mereka selalu berbicara atas data, bisa jadi dalam benak mereka, kalau bicara tanpa data, itu sama halnya memberi suara semata, bukan isi.Ini hanya asumsi saya saja. Sehingga kesimpulan kecil saya, ruang debat yang dibangun sudah masuk level paradigma. Mengapa energi baik muncul? karena mereka sudah mulai mendalami dunia literasi.Literasi tidak sebatas membaca, tapi membaca sambil memahami, itu lebih penting. Hasilnya padat.
Terima Kasih bagi siapa saja yang sudah membaca ulasan singkat ini. Mari membangun negeri ini dengan hal hal kecil, menghilangkan jejak kelumpuhan niat membaca, menuis dan berpikir.Anak-anak kita lagi menunggu sentuhan tangan baik kita.
Tinggalkan Komentar