Oleh Vinsensius Nurdin
Sman3borong.sch.id-Merefleksikan pendidikan bagi beberapa orang menjadi suatu yang terus dilakukan mengingat fondasi dari suatu bangunan kenegaraan berbatutungkukan salah satunya pada sektor pendidikan. Begitu pentingnya pendidikan sehingga ukuran kualitas suatu negara dapat ditinjau dari seberapa terinspirasinya para warga dalam menghidupi kehidupan setiap hari dari dan karena berpendidikan. Meskipun untuk beberapa orang lainnya, refleksi akan pendidikan menjadi tindakan yang hanya membuang waktu karena keberlakuannya bagi para warga menjadi biang keladi munculnya berbagai tindakan dalam berbagai tingkat persaingan yang tidak sehat, apalagi ketika pendidikan beroperasi di atas jembatan bisnis dan akhirnay bersentuhan dengan dinamika politik dalam negeri.
Kedua bentuk pola pikir seperti di atas, bukanlah sebatas fiksi belaka. Zaman milenial kita, dengan berbagai konsekuensi di dalamnya akan langsung bersentuhan dengan kesemarakan paradigma berpikir baik idelaisme maupun realisme. Pendidikan kita juga pasti tidak luput dari saling silang pendapat antara dua paham yang berbeda ini dan memunculkan berbagai kebijakan yang kelihatannya sesuai dengan pengaruh para perancang. Konsep pendidikan yang komprehensif ditafsirkan dalam berbagai bentuk kebijakan yang melahirkan formulasi undang-undang pendidikan. Pijakan pendidkan demi mencapai atau mempertanggungjawabkan kemanusiaan manusia dengan potensinya yang berbeda ditempa dan dibenah melalui beberapa kebijakan yang terkadang diperlombakan (mungkin demi pencitraan atau intrik terselubung lainnya).
Konsep yang terkandung dalam kata pendidkan sebenarnya adalah terjemahan dari bahasa Inggris educate. Dalam kamus Funk & Wagnals Standard Desk Dictonary kata educate dijelaskan dengan sangat bagus yakni To develop or train the mind, capabilities, or character of by instruction or study; teach. Dengan penjelasan leksikal ini saja paham pendidikan bertindih tepat kepada kegiatan mengembangkan atau melatih pikiran, kemampuan dan karakter manusia secara total. Penjelasan etimologis ternyata harus ditambah dengan menggali hingga menemukan akar dari kata kerja educate yang merupakan kata yang diambil dari bahasa latin dari e yang berarti keluar dan ducere yang berarti memimpin, menuntun. Konsep pemuliaan manusia sangat tajam dari akar kata bahasa latin dalam term pendidikan. Dengan penjelasan leksikal /etimologis dari kata pendidikan, teranglah tujuan utama dari proses pendidikan yakni memanusiakan manusia. Pendidikan telah memainkan peran besar bagi identitas manusia sebagai manusia.
Merayakan hari raya pendidikan berarti kita melakukan beberapa langkah sebagai bentuk refleksi baik dalam tataran akademis maupun dalan tataran kongkret. Ada banyak hal yang bisa dibuat dalam perayaan hari raya pendidkan. Refleksi akan perjuangan para pahlawan yang mendasari pendidikan Indonesia menjadi aksara awal dari bangunan konsep secara umum. Ki Hajar Dewantara menjadi reperesentasi perjuangan para pendahulu demi melanggengkan pendidikan hingga seperti hari ini. Kearkaikan pendidikan taman siswa binaan Ki Hajar Dewantara menjadi paradigma sejarah yang mesti terus diperdalam untuk kemudian disandingkan dengan pendidikan hari ini. Cara dan sarana yang digunakan pasti mengalami perubahan, tetapi semangat nasionalisme manusia Indonesia harus tetap didekatkan dengan penggalakan pendidikan sekarang. Identifikasi manusia Indonesia dengan semangat Pancasila dalam pendidikan ala Ki Hajar Dewantara terus digali untuk disandingkan dengan roh pendidkan sekarang. Totalitas manusia Indonesia harus menjadi karakter pendidikan kita.
Formulasi Ing Ngarso Sungtulodo ,Ing Madia Mangun Karsa dan Tut Wuri Handayani dalam pendidikan hari ini semakin tampak kepudarannya, karena tekanannya berubah entah karena masalah demi pencapaian target akumulatif dalam bentuk angka-angka maupun tertindih oleh beban perubahan politik kenegaraan. Perombakan kurikulum pendidkian menjadi diskusi hangat dalam berbagai tingkat baik karena tuntutannya membawa serta berbagai problematika di tingkat pelaksana tugas yakni pendidik dan para terdidik maupu garansi berbagai bentuk berubahan kurikulum tidak disertakan dengan kesiapan dan keterjangkauan instrument pendukung. Problematika ini sangat rumit untuk diuraikan di sini, karena kebanyakan berhubungan dengan instrument tekhnis yang sifatnya didaktis. Fokus perhatian penulis di sini adalah kerangka dasar pendidikan kita yang sudah lama dirintis demi pemuliaan manusia Indonesia dengan horisonnya bertindih tepat dengan UUD 1945. Mencerdaskan kehidupan bangsa dalam alinea ke IV UUD 1945 sebagai tujuan pembentukan NKRI bukalah sebatas aksara mati, tetapi merujuk kepada spiritualitas dari pendidikan sebagai wadah kreasi bagi manusia yang handal dan tangguh baik jiwa maupun raga.
Aksara pendidikan tersusun dalam kesatuan dengan spritualitasnya. Tujuan pendidikan dalam berbagai bentuk proses belajar terkristal dalam tiga formulasi yakni pertama: learn to do. Pendidikan dalam berbagai tingkatnya harus dapat menjadi acuan dalam melakukan sesuatu. Pendidikan dalam proses belajar harus mampu melakukan suatu perubahan baik untuk subjek itu sendiri maupun lingkungan sekitar. Kedua: learn to know. Pendidkan dalam proses belajar untuk mengetahui. Mengetahui bermuara kepada Scientia /pengetahuan akademis maupun pengetahuan etika/tentang yang baik dan buruk. Scientia menetaskan kebekuan brain/otak dan etika menetaskan kebekuan heart/hati. Kedua instrument ini(otak & hati) selalu beroperasi dalam pengandaian sehingga tercapai keseimbangan. Ketiga: leran to live together.pendidikan sebagai proses belajar pada akhirnya harus mampu merekatkan hubungan anatara sesama manusia. Kemampuan untuk dapat hidup bersama dengan orang lain yang berbeda dengan memberi daya yang menghidupkan adalah hasil yang diharapkan dari pendidkan. Kesadaran sebagai ens sociale/ada yang berkehidupan sosial menjadi salah satu identitas yang ditampakkan dari pribadi berpendidikan.
Aksara pendidikan dengan berpedoman pada UUD 1945 memberi tekanan kepada terlahirnya anak-anak bangsa yang humanis yakni menjadi manusia yang semakin paham akan tujuan kemanusiaannya dan berguna bagi manusia lainya. Bercermin pada fundator pendidikan Ki Hajar Dewantara yang merekatkan budaya bangsa melalui proses yang terus menerus dilakukan sehingga tercapai apa yang diharapkan dari pribadi-pribadi yang terdidik. Sekolah rakyat Pancasila rintisan RomoMangun Wijaya juga menjadi model pembanding demi menumbuhkan semangat nasionalisme dengan penekanannya pada manusia sebagai pribadi yang utuh, pribadi terdidik yang Pancasilais. Mendidik manusia yang di dalamnya diperlakukan sebagai subjek yang sadar akan kemanusiaannya dan berani merenovasi atau meniadakan paham-paham yang membelakangi atau mengangkangi pancasila. Keutuhan manusia menjadi finis operis dari pendidkan. Joseph A. O’Hare dalam bukunya Jesuit education in America memberi term baru sebagai gambaran pendidikan Ignatian yang merangkum totalitas kemanusiaan yakni Eloquentia perfecta yang dicapai melalui proses yang memberi perhatian pada keseluruhan pribadi, termasuk di dalamnya adalah lingkungan yang mendukung perhatian dan pemeliharaan pribadi tiap orang. Aksara pendidikan harus mampu mengeja pribadi manusia secara total dan menegasi lapsus linguae/pengejaan kata yang salah karena tersandera berbagai kepentingan terselubung.
Tinggalkan Komentar