(Salah Satu Cara Memertanggungjawabkan Memoria)
Vinsensius Nurdin
Sman3borong.sch.id-Pada hari ini saya ditantang oleh sahabat saya ibu Maria Rice Nursanti, S.Pd atau akrab disapa Ibu Shanti, salah seorang guru di SMAN 3 BORONG untuk merefleksikan dalam bentuk tulisan tentang lampu pelita. Sejauh yang saya tahu, kurang lebih 2 atau 3 tahun lalu masyarakat sekitar sini baru melepaskan diri dari ketergantungannya dengan lampu pelita. Tahun-tahun sebelumnya menjadikan lampu pelita sebagai perangkat setia dalam menerangi kehidupan di malam hari. Menerangi kehidupan tidak dalam pengertian personifikatif, tetapi dalam arti yang sesungguhnya.
Lampu pelita adalah suatu perangkat yang dibuat dari kaleng bekas dan didalamnya diisi minyak tanah dan bagian atas kaleng bekas itu dimasukan sumbu untuk menarik minyak tanah ke atas dan membuat api menyala pada ujungnya. Setiap orang yang pernah menggunakan alat ini pasti mengetahui apa dan bagaimana itu lampu pelita. Lampu pelita menghantarkan lamunan kita ke masa silam. Masa di mana, ketika sang mentari kembali ke peraduannya, setiap orang sibuk dengan mentahtahkan lampu pelita sehingga memberi penerangan di tengah pekatnya gulita malam. Memori lampu pelita menghentakan lamunan kita kini akan berlalunya waktu yang membawa serta penyingkiran bahkan pemusnahan secara masal bentuk kehidupan tradisional yang salah satu korbanya adalah lampu pelita.
Pernahkah kita sebagai makhluk milenial berpikir dalam permenungan yang dalam akan keberadaan nilai lampu pelita di masa lampau? sediakah kita waktu akan kekuatan bantuan yang telah merekam jejak masa lalu dengan keberadaan lampu pelita? Menilik kisah di balik keberadaan lampu pelita di masa lalu akan menghantar kita kepada permenungan nilai hidup yang dirajut dari pribadi-pribadi yang mengalami bantuan yang luar biasa dari lampu pelita. Untuk sampai pada permenungan itu, saya akan mencoba merekam beberapa jejak dari proses pentahtaan lampu pelita di masa lampau.
Ketika malam tiba atau secara puitis dikatakan tatkala sang mentari kembali ke peraduannya, anak-anak manusia akan dengan sendirinya mencari lampu pelita untuk dinyalakan. Biasanya lampu pelita di rumah-rumah berjumlah lebih dari satu. Sebelum dinyalakan, akan diperiksa apakah minyaknya masih mencukupi atau sudah saatnya diisi kembali. Akan terdengar ucapan-ucapan yang sama di setiap bilik atau penghuni rumah: nana/enu tutung lampu ge. Ungkapan-ungkapan yang senada yang menunjuk kepada adanya aktivitas anak manusia untuk memersiapkan perangkat keras yakni lampu pelita ketika malam tiba. Waktu lampau itu begitu lekat tertempel di benak anak manusia yang mengalaminya. Ada saja suasana kehangatan yang tercipta dalam libasan cahaya lampu pelita. Ada banyak kisah yang terus tersusun rapi dalam benak anak bangsa yang telah menjadikan lampu pelita sebagai perangkat setia menemani pekatnya keheningan malam.
ceritera-ceritera menarik berhasil diungkapkan dalam pribadi anak manusia yang hingga kini bergelimbangan dengan dunia milenialis beserta berbagai keanekaragamannya. Ada saja ungkapan menarik yang memberi penjelasan akan kuatnya pengaruh lampu pelita dalam perjuangan menggapai hidup hingga kini. Sebagian besar dari kita tidak pernah melupakan jejak lampu pelita yang kuat melekat dalam seluruh memori kita. Sangat mudah bagi kita untuk menghubungkan suatu situasi kini dengan keberadaan lampu pelita di masa lalu. Sebagai salah satu bentuk keterhubungan itu adalah ketika alat bantu penerangan mengalami gangguan. Mudah sekali bagi kita untuk mengalami situasi itu tanpa kepanikan dan memori lampu pelita akan menggugat cara kita memperlakukan situasi yang demikian. ketika listrik padam, naluri reflek lampu pelita memenuhi memori kita dan suka atau tidak suka ia akan menghantar kita untuk melalangbuana ke masa emasnya cahaya lampu pelita.
Ibu Shanti yang meminta saya menarasikan tentang lampu pelita memberikan kesaksiannya bahwa pribadi-pribadi yang pernah mengalami kehidupan bersama lampu pelita adalah insan yang tahan uji dan selalu siap dalam memperjuangkan sesuatu. Anak zaman lampu pelita adalah anak yang menggunakan sarana seadanya tetapi telah mampu meninggalkan jejak yang terpahat secara artistik di relung-relung peradaban bangsa. Ini bukanlah halusinasi, tetapi suatu pertanggungjawaban rasional dalam menjembatani kekuatan manusia milenial dengan insan libasan cahaya lampu pelita. Ibu Shanti menambahkan dalam argumennya bahwa pribadi yang terlahir dari rahim dan silauan cahaya lampu pelita terus menyandingkan keberadaannya kini dengan memori masa lampau yang telah terbentuk dalam perguliran waktu. Dalam nada yang lebih puitis, Ibu Shanty menjunkirbalik memori kita dalam sajak-sajak lampu pelita sebagai berikut:
Bercokol di pojok membopong peneropong malam
Merakit janji hari dalam tarikan libasan kilaun seberkas cahaya kecil
Melumat gerah dan pekatnya kesangsian malam
Raut cahaya menawan dalam membilas keheningan
Ditahtakan dalam bejana sederhana penawar kebisuan malam
Dibentuk dalam kesederhanaan tetapi menghias malam anak bangsa
Menggembalikan letih dalam kekuatan cahaya yang kadang redup
Membangunkan niat dan perangai dalam pergulatan watak anak bangsa
Yang siap
Yang sedia
Yang selalu
Yang setiap saat
Dalam relung sanubari ingin sekadar merasakan kembali pergulatan
Anak manusia Lampu Pelita
Filosofi Lampu Pelita
Unsur yang membentuk keberadaan lampu pelita dalam pengertian secara fisik meliputi Kaleng Bekas. Unsur pembentuk pertama sejauh ketersediaannya memungkinkan adalah kaleng bekas. Setelah isi kaleng apa saja habis , biasanya masyarakat menggunakannya untuk menjadi penampung minyak tanah pada mana bersama pipa dan sumbu lampu menghasulkan cahaya di tengah kegelapan malam. Istilah sejauh ketersediaannya memungkinkan mengacu kepada perangkat lain yang masyarakat gunakan sebelum kaleng bekas menjadi penampung minyak tanah. Sejauh yang saya rekam dari penuturan orang-orang tua, diketahui bahwasannya sebelum adanya minyak tanah dan kaleng, masyarakat purbakala biasanya lebih alami lagi dalam menyediakan terang pada malam hari, seperi modifikasi isi biji kemiri yang dilumatkan sehingga menghasilkan sedikit minyak yang dipelintir bersama kapas sehingga menghasilkan sumbu dan dapat memerciki cahaya. Biasanya menggunakan bambu sebagai wadahnya. cara inipun tidak pernah saya alami dan diceriterakan oleh para kakek-nenek.
Filosofi lampu pelita menyadarkan kita bahwa setiap peran sekecil sekalipun dapat menghasilkan sesuatu yang berguna dalam kehidupan. Setiap peran yang dimainkan di atas panggung dunia apapun itu adalah bagian dari cara kita berlaga dalam arena dunia. Sekecil apapun peran kita dalam suatu perhimpunan akan menjadi kekuatan yang memberi arah yang jelas dalam suatu periode waktu dan tempat tertentu. Hal ini mengingatkan kita pada cara kita memperlakukan sesama sebagaimana adanya, sebagaimana perannya, tanpa memandangnya dengan sebelah mata. Sebagaimana lampu pelita yang mutlak ada karena unsur-unsur pembentuknya(kaleng bekas,minyak tanah, sumbu dan sumber api), demikian pulalah kiranya cara kita memperlakukan kehidupan saat ini.
Tinggalkan Komentar