Oleh VINSENSIUS NURDIN
Sman3borong.sch.id-Dalam sejarah dunia telah dikenal bahwa manusia justeru mengenal kata hukum berawal dari suatu tata hidup yang sederhana katakanlah misalnya cara bertani masyarakat di Mesir. Di sana pada musim tertentu manusia mulai menata cara mengelola tanah hingga dalam bentuk petak-petak sederhana dan itu dilakukan dalam tata aturan tertentu dengan dipimpin oleh seorang penguasa tertentu. Dari sana pun kita telah mengenal sistem nomaden pada masyarakat pra sejarah dan itu pun dilakukan dengan satu sistem tertentu pula. Semuanya ini mengawali pemikiran kita dalam pembahasan tentang bagaimana status hukum adat dalam bingkai hukum nasional. Hukum Hammurabi merupakan salah satu rujukan asli dari tata hukum modern dalam tata aksara dunia hukum, selain itu juga sejarah peradaban agama dalam tulisan-tulisan kitab suci adalah sumber yang juga memberi andil terhadap pembentukan hukum modern. Hukum Hammurabi pun dalam bentuk yang sederhana dalam perintah dan larangan telah dimodifikasi oleh hukum modern. Dalam caranya yang paling sederhana pemikiran awal hukum dalam bentuk perintah dan larangan (bonum est faciendum et malum vitandum/lakukanlah yang baik dan hindarilah kejahatan) mengacu kepada bentuk manusia, tempat dan zaman tertentu tetapi kekuatan mengikatnya sempurna, meski dalam bingkai hukum modern banyak yang bertolak belakang dan kadang dianggap tidak logis.
Refleksi akan hal ini berawal dari keterhenyakkan saya akan mencuatnya kodeks hukum nasional yang jika ditinjau dari sisi sejarah merupakan penerjemahan dari hukum penjajah. Penaklukan wilayah nusantara pada periode penjajahan menyertakan juga dengan penghapusan kedudukan hukum adat di wilayah jajahan nusantara. Kebanyakan butir-butir hukum NKRI adalah terjemahan hurufiah dari hukum penjajah entah dalam pengertian istilah maupun isinya. Konsekunsi langsung dari hal ini adalah terpasungnya hukum adat kita karena kalah bersanding dengan hukum para penjajah.
Menyadari akan kenyataan yang sudah terjadi seperti di atas, akhirnya tidak pelak lagi akan adanya kekacauan dalam penerapan hukum di wilayah nusantara yang serampangan. Betapa tidak, perintah dan larangan yang disertai ganjaran tertentu menuai tubrukkan. Permasalahan muncul ketika status hukum menjadi dimanipulasi karene interese tertentu entah personal, uang, prestise maupun harga diri yang ditopeng oleh kekuatan terselubung (politik). Semua ini adalah bungkusan dari tercoretnya kekuatan hukum adat kita dalam perbendaharaan kodeks hukum nasional.
Keselewengan publik ini juga adalah bagian dari ketidakmampuan kita semua untuk menerjemahkan hukum adat dalam bingkai nasional. Salah satu alasan ketidakmampuan kita adalah gagalnya menyandingkan filosofi negara sebagai negara hukum dengan kebajikan lokal yang nasionalis. Primordialisme dengan ruangnya yang tebal telah membatasi kita untuk keluar dari dan masuk ke dalam bingkai kesatuan. Idealisme penemuan hukum adat dalam menangani kasus warga negara terbatas hanya pada slogan kepentingan semata. Di atas bangunan rapuh inilah kita telah berorasi dengan lantang akan kemampuan menjiplak kodeks hukum negara penjajah dan memperlemah kodeks hukum pribumi dari kebajikan-kebajikan lokal yang terdiaspora.
Hukum adat yang terpasung berakibat fatal pada penanganan berbagai kasus para warga negara. Ketiadaan ruang bagi hukum adat untuk berkreasi demi bangsanya sendiri adalah suatu pelaknatan yang mesti disadari. Para warga negara tercerabut dari identitasnya sendiri dan memakai identitas lain yang mau tidak mau diakuinya. Hukum adat kita seolah-olah ditenggelamkan dan memandang dari dasar sungai kekaburan dan terus berharap untuk berada di permukaan. Bukan karena dia lemah dalam sistem tetapi diperlemah oleh sistem lain yang terus menindih dan akhirnya tinggal nama yang sulit dieja karena terlanjur dianggap out of date.
Menilik kasus demi kasus sejak negara ini terbentuk, kita akan tertegun bahwasannya (kalau mau jujur oleh yang berwajib) kita telah memakai standar dan cara berpikir negara lain untuk menyelesaikan konflik. Di sini pula kita dibuat termangu oleh pemaksaan pengenaan ayat-ayat tertentu untuk kasus yang tidak semestinya. Padahal kalau menggali akar kebajikan lokal yang kita miliki, kita akan menemukan berbagai cara yang sudah pernah dibuat untuk kasus tertentu dan penyelesainnyapun tidak berbelit-belit. Kekuatan hukum adat sesungguhnya merangkum berbagai hal dalam kehidupan bernegara. Aturan hidup yang simpel dengan berbagai perintah dan larangan yang sederhana pula adalah cara mulia menindak manusia yang bermasalah. Kebajikan lokal yang kita miliki adalah identitas yang melekat dengan adanya kita sebagai manusia Indonesia yang mendiami suatu wilayah tertentu di planet ini.
Kegetiran terjadi akibat adanya kesimpangsiuran antara penerapan hukum Belanda dalam bingkai negara kita dengan kegetolan teori hukum kita tentang rechtvinding. Hukum Belanda tetap dipertahankan dalam kodeks hukum kita karena keberlakuannya dianggap logis untuk ukuran hukum positif-modern. Keberlakuannya pun terbukti menjawab kehausan akan logika berhukum secara literer-akademis. Kemampuan hukum Belanda hingga terus dipertahankan adalah pernyataan logis dalam tataran premis hukum. Ia mampu menjembatani tindakan-tindakan manusia entah preventif, represif maupun kuratif secara hukum. Tambahan pula, semuanya itu terumuskan dalam bentuk kitab dengan berbagai prasyarat legal sebagai kodeks hukum yang resmi sesuai dengan tuntutan yang positif legal. Lalu bagaimana dengan hukum lokal kita? Bagaimanakah modus operandi keberlakuan hukum kita di hadapan keterdesakan untuk menggantikan hukum Belanda? Adakah kitab hukum yang berbeda sama sekali dari kodeks hukum Belanda?
Untuk menjawab rentetan pertanyaan seperti di atas sangatlah muda. Karena semua pertanyaan itu dengan sendirinya ternegasikan. Kodeks hukum yang berasal dari dan bersumber pada kebajikan lokal nusantara sangat sulit ditemukan karena tidak pernah dibuat. Mengapa tidak pernah dibuat? Ini adalah pertanyaan kunci untuk semuanya. Bagi saya yang awam terhadap hukum, hanya bisa berkomentar dalam tataran akademis interpretatif. Rechtvinding dalam hukum menuai banyak terjemahan. Salah satu yang paling menonjol dalam hemat penulis adalah usaha penemuan hukum seperti yang didengungkan di atas sifatnya bukan menemukan hukum dengan menghapus hukum buatan Belanda sama sekali tetapi hanyalah norma-norma yang ada diseputar hukum yang telah ada. Semua ini juga terbelit karena masalah politik dalam negeri. Pembentukan suatu UU tertentu hingga kemudian dijadikan bunyi dalam butir-butir hukum tidak pernah netral dari masalah politk. Ada kepentingan tertentu di balik ejaan undang-undang yang mengatasnamai rakyat. Pembentukan pasal-pasal hukum yang katakan diambil dari berbagai kebajikan lokal nusantara akhirnya berbenturan dengan kepentingan tertentu dalam bingkai politik Negara.
Dalam menjawab berbagai problematika yang pelik ini, kita akhirnya berhenti pada suatu usapan logika yang mandek. Kekuatan dan keinginan untuk mempertahankan kebajikan lokal yang berurat berakar pada wilayah NKRI sendiri menuai ketimpangan ketika usaha itu bersanding dengan urusan politik kekuasaan semata. Kekayaan budaya dengan berbagai kebajikan lokal yang ada hanyalah endapan masa lalu yang tidak pernah menyuburkan taman kemanusiaan nusantara. Alih-alih mengedepankan kebajikan lokal berhadapan dengan perseteruan politik bertindih tepat dengan kekuatan diri yang diperlemah dengan ketiadaan kuasa untuk memberi pengaruh. Dalam labirin yang membingungkan inilah kita akhirnya mau tidak mau mengangkat tangan sembari menyaksikan terkoyaknya kebajikan lokal kita di hadapan hukum yang terlanjur berlaku dan (atau mungkin) dipaksakan.
Dengan berlakunya hukum yang tidak berasal dari kekayaan kebajikan kita sendiri, kita sesungguhnya mengafirmasi lemahnya kita di hadapan orang lain. Dan alas dari semuanya itu adalah keterlanjuran keberlakuan hukum tanpa usaha pembaruan yang adaptif. Ada usaha untuk beradaptasi tetapi juga terbentur dengan urusan politik dalam negeri. Negara Indonesia sebagaimana digarisbawahi oleh UUD 1945 adalah Negara hukum hanyalah rentetan huruf-huruf mati yang membentuk skema kekuasaan politik. Politik akhirnya mengatasi hukum dan hukum membawahi politik. Karena pola ini terus dipertahankan maka yang terjadi adalah kita hanya berenang di air keruh. Simpulan retorik yang akhirnya kita miliki terangkum dalam pertanyaan yang sekaligus menggugah nurani kita bersama. Quo vadis kebajikan lokal kita? Kebajikan lokal kita terpasung dan kita menjadi pengkianat untuk diri kita sendiri.
Tinggalkan Komentar